Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sekali Lagi, dari Rachel Vennya Kita Belajar

4 Februari 2021   11:50 Diperbarui: 7 Februari 2021   01:42 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rachel Vennya (Foto: Instagram @rachelvennya via Kompas.com) 

"Bukan pak. Nama lengkap saya Moelyanto. Yang bapak maksud itu Moel.... yang pakai lencana didada. Saya lencana dicanda..."

Ahh mantap.

Sungguh luar biasa bin ajaib para siswa kita hari ini Pak Krishna. Mereka sepertinya sudah kerasukan rohnya Tere Liye atau Mba Dee. Kok bisa-bisanya mereka mampu merangkai kata yang sebijak itu. Kemampuan kognitifnya sangat-sangat bagus.

Kira-kira darimana yah datangnya inspirasi para peserta didik, sehingga kok semau-maunya menyimpulkan sesuatu yang mereka sendiri tak tahu fakta dan kebenarannya. Kalau kata Pak Krishna sih, para peserta didik kita ini menerapkan pola pemelajaran semerta, yakni kesadaran yang muncul tiba-tiba tatkala berhadapan dengan masalah. Mungkin juga pemelajaran observasional, yakni proses belajar dan mempelajari cukup dengan mengamati dari dekat atau jauh.

Pliis lah bos (peserta didik), kasus RV itu bukan masalah baru dan bukan masalah Lu.  Jangan menambahinya dengan embel-embel yang tak perlu. Apalagi dengan membumbuinya dengan kata bijak. Syukur kalau kata bijak mu bagus, lah kalau jelek dan ngga mutu, jatuhnya kan malah menghina orang.

Sejujurnya, ada rasa ketidakadilan diruang kelas virtual ini. Mengapa RV yang punya masalah, kok rang-orang yang belajar. Apakah mereka akan mengikuti ujian sehinga harus belajar? Atau apakah mereka kekurangan materi pelajaran sehingga harus Dari Rachel Vennya kita belajar.

Badai kencang yang berhembus dari tokoh atau artis memang bagus untuk dijadikan pelajaran hidup. Tapi ada batasnya juga bos. Persoalan hidup tiap manusia itu berbeda karena berangkat dari kondisi yang berbeda pula. Kondisi inilah yang sepertinya tidak akan bisa dan tidak akan mampu kita rasa sebab hanya RV dan pasangannya yang merasakan.

Bila kamu ingin belajar, cukuplah pelajaran itu bagi diri kamu sendiri, tak perlu sesumbar menjadi guru diruang kelas publik. Cukuplah dirimu menyerupai pantun ini, Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

Yang dialami RV itu memang perih. Kita sebagai orang  yang menyaksikannya haruslah menjadi penonton yang bijak. Menagislah ketika adegan film itu sedih. Tertawa lepaslah ketika adegannya menghibur. Jangan menjadi penonton yang absurd.

Para peserta didik kelas nusantara memang aneh bin ajaib, sangat-sangat out of the box. Coba bayangkan bila hubunganmu sama seperti yang dialami oleh RV. Apa yang akan peserta didik lakukan bila kamu sedang jatuh lalu ditimpali dengan tangga dari orang?. Tentu sedihnya akan berkepanjangan.

Pada titik ini, kedewasaan peserta didik sangat dibutuhkan. Mari menjadi cerdas dengan melihat persoalan. Mari jangan mencampuri urusan pribadi orang. Bila RV itu adalah orang yang kamu kenal, tolong sampaikan kata-kata yang menguatkan kepadanya. Jangan menjadikannya bahan julid karena itu sama sekali tak ada untungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun