Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sindiran "Paksa Anak" dari Bu Mega, untuk Siapa?

20 Februari 2020   23:11 Diperbarui: 21 Februari 2020   15:24 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto (Tribunnews.com)

Sumber foto (tribunnews.com)
Sumber foto (tribunnews.com)
Kalimat "memaksa" dalam diksi perpolitikan in tentunya sangat memicu banyak pihak untuk berspekulasi macam macam. Bisa saja ini sebagai sebuah penggiringan opini untuk mempengaruhi salah satu partai lain atau pihak yang menjadi musuh politik. Sehingga instabilitas lawan politik goyang dan ini sebagai sebuah momentum untuk bergerak maju, selagi musuh sedang dirundung pilu.

Nama-nama diatas sebagai soko guru perpolitikan saat ini memang memiliki kekuasan yang tidak main main. Mereka tentunya mampu untuk membangun sebuah dinasti politik yang akan berumur panjang. Sehingga api kekuasan bisa dalam genggaman.

Jika mengukur tiga nama besar diatas sebagai arena pusat perpolitikan, bukan tidak mungkin hasrat untuk membentuk sebuah dinasti itu ada. 

Kita lihat misalnya kasus Gibran yang menjadi calon pilwakot Solo. Benturan terjadi saat namanya diusungkan sebagai kandidat. Sehingga ia harus berusaha keras untuk melobi sana sini. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa pencalonananya sangat dipaksakan.

Tetapi ia membantah tuduhan tersebut. Baginya, menjadi calon wali kota adalah sebuah panggilan hidup. Sehingga baik siapapun termasuk ayahnya, tidak menyuruh atau meminta secara khusus pencalonannya. Ia juga berujar bahwa ia cocok dan layak sebagai anak muda dalam memipin daerah yang pernah dipimpin oleh ayahnya. Apakah ini terkesan memaksakan?

Selanjutnya, ada nama Mantan Calon Gubernur Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Walaupun gugur pada pemilihan gubernur jakarta tahun 2017, AHY masih aktif dalam bergelut dengan politik. Termasuk salah satunya adalah melakukan kampanye aktif ke internal partai demokrat (PD). Namanya yang digadang gadang sebagai nahkoda partai demokrat santer terdengar.

Secara politik, AHY masih terbilang baru. Contohnya saat ia maju ke pilkada. Dibandingkan dengan pesaingnya, AHY masih keteteran menjadi pesaing mereka. 

Walaupun hal itu telah lalu, AHY toh juga tetap berambisi untuk membawa nama partai demokrat maju lagi. Kekuasan sang ayah dan pengaruhnya yang kuat memang menjadi salah satu modal awal untuk menyolidkan suara ditubuh demokrat. 

Namun hal ini tentunya akan menjadi sebuah preseden buruk. Mengingat ia adalah anak dari SBY yang sekaligus juga adalah pendiri partai politik ini. Ia tentunya bisa dengan muda h untuk duduk sebagai nahkoda selanjutnya menggantikan ayahnya.

Secara keseluruhan, pendidikan politik AHY maupun Gibran sama-sama masih mental. Mereka harus memulai dari awal sebelum maju menjadi kandidat baik didaerah maupun dipusat. Beda hal dengan Puan Maharani. Rekam jejaknya sangat matang di DPR RI. Sebagai anggota DPR RI, Puan sudah malang melintang dan banyak beguru dengan guru-guru politik yang ada di PDIP. Kelas mereka terlihat jauh.

Namun melihat petuah PEMAKSAAN ANAK sebagai bahan perjudian dibidang politik ala Megawati memang menarik untuk didiskusikan. Saya setuju jika terlalu memaksakan anak masuk kedalam politik adalah salah satu langkah yang salah dan sewenang-wenang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun