Mohon tunggu...
Sonya L Mawuntu
Sonya L Mawuntu Mohon Tunggu... -

Follow your heart but take your brain with you

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cirebon, Perempuan Bercadar dan Kebaikan Hati

18 Oktober 2015   12:34 Diperbarui: 18 Oktober 2015   14:31 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karena kota Cirebon berada di wilayah pesisir, jadi yang pertama kali ada dipikiran saya tentang tempat ini adalah Panas! Tapi Cirebon yang apik dan penduduknya yang ramah dan penolong cukup membuat adem hati dan betah berada di sini. Saya suka kota ini, walaupun tidak begitu banyak pilihan wisata yang ditawarkan.

Saya memulai perjalanan ke Cirebon dengan berbagai hal yang menyenangkan. Berangkat pagi-pagi dengan menggunakan kereta api tujuan Jogjakarta yang nantinya akan berhenti di Cirebon, saya duduk berhadapan dengan seorang ibu yang bercadar, beserta suaminya yang berpenampilan ala organisasi intoleran yang ditakuti karena sepak terjangnya. Dengan berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, terus terang saya agak sedikit takut. 90% sahabat saya adalah Muslim yang taat. Dan tidak ada kendala dalam persahabatan kami karena perbedaan itu. Tapi berhadapan dengan wanita bercadar dan lelaki berjenggot panjang,  yang selama ini merupakan representasi dari Islam radikal bahkan menurut orang Muslim itu sendiri, saya sedikit ciut. Saya khawatir dengan barang bawaan Bapak-Ibu itu, walaupun tidak  berani memperhatikan dengan seksama, karena takut mereka tersinggung. Dan dari sorot matanya yang tajam, saya tau Ibu itu sedang memperhatikan dan "meyelidiki" saya.  dan setiap berpapasan pandang dengan ibu itu, saya tersenyum dan medoakan yang terbaik dari dalam hati untuk beliau. Karena saya yakin, apa yang disampaikan dari dalam hati akan diterima dengan baik, walaupun tanpa kata-kata. Sampai kemudian, tiba-tiba Ibu itu memegang tangan saya, menyapa dengan lembut, mengajak ngobrol, serta menawarkan makanan dan minuman. Saya terharu. Dari penampilan dan dari segala hal yang melekat di saya, saya yakin Ibu itu tau pasti kalau kami berbeda. Tapi toh kasih tidak mengenal perbedaan. Dia menembus batas  dan sekat. Ibu itu mungkin iba, saat semua orang di dalam kereta membuka bekal dan cemilan mereka, membeli makanan di kantin kereta, saya tidak membawa dan membeli apapun. Hanya membekali diri dengan sebotol air mineral yang setengah kosong (atau setengah penuh? hehehe...) Ibu itu pasti tidak tau kalau saya lebih berat disuruh ngemil daripada disuruh kerja.

Perjalanan ke Cirebon memakan waktu tiga jam. Dan itu adalah tiga jam yang mengubahkan. Mengubah pandangan saya tentang orang lain, dan mengajar saya untuk tidak menilai orang lain dari penampilan luar, serta membuka pemahaman saya tentang mereka, yang saya nilai semena-mena hanya dengan melihat mereka dari tempat yang sangat jauh. Perjalanan seperti biasa, sedekat apapun dari rumah, akan selalu membuat kita pulang sebagai pribadi yang berbeda.

Menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Kota Udang, kesan pertama saya adalah ; walaupun panas, tapi kota ini cukup nyaman dan bersih. Dan yang terpenting, orang-orangnya ramah.

Keluar dari Stasiun kereta, tempat pertama yang saya tuju adalah Keraton Kasepuhan. Keraton ini terawat cukup baik. Dan dari berbagai benda yang di pajang di dalam Keraton, kita jadi paham bahwa orang-orang Keraton pada masa itu sudah sangat terbuka dengan berbagai peradaban dan perbedaan. Ada gelas dari pemerintah VOC, tempat lilin kristal dari perancis, serta berbagai keramik bergambar yang beberapa diantaranya bercerita tentang kisah kisah yang ada di dalam kitab suci umat Kristiani.

Tempat berikut yang saya datangi adalah Kampung Batik Trusmi. Tidak seperti batik Jogja yang kalem dan cenderung gelap, batik Cirebon itu kaya warna dan terang. Variasi kekayaan budaya Indonesia yang menakjubkan.

Agak sore sebelum pulang, saya mampir ke sentra penjualan oleh-oleh, untuk membeli titipan kerupuk melarat dari sahabat saya Ratih. Walaupun agak sedikit ragu dengan namanya, tapi ternyata ada. *walaupun cuma kerupuk mbok ya dikasih nama yang rada-rada tajir dikit gitu :)

Hari sudah menjelang malam, dan sudah waktunya pulang. Ternyata saya berdiri dijalur yang salah. dan agak jauh dari jalur yang seharusnya. Tiba tiba Bapak pengangkut barang di stasiun kereta yang sebelumnya mengajak saya ngobrol, berlari sekuat tenaga sambil melambaikan tangan kearah saya sambil berteriak "Mbak keretanya jalur satu, sudah mau jalan, cepetan!! Ah, lagi- lagi kebaikan menghampiri saya. Tuhan memberkatimu Bapak...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun