Mohon tunggu...
Soni Indrayana
Soni Indrayana Mohon Tunggu... Freelancer - Novelis dan penulis buku "Kitab Kontemplasi"

Penulis yang suka menulis semua genre.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Soal Dilan, tapi Kerinduan

30 Januari 2018   13:33 Diperbarui: 30 Januari 2018   13:48 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya tak sanggup walau untuk sekedar membayangkan bagaimana rasanya terlanjur jatuh cinta begitu dalam sejak dini. Kemudian dengan singkat cerita-cerita manis tercipta, lalu perpisahan tiba dengan caranya memaksa saya dan dia untuk berpisah dan saya harus terjebak di dalam kenangan-kenangan manis pada masa lampau selama bertahun-tahun.

Cerita tentang kebersamaan adalah cerita yang manis, bahkan ketika cerita itu sudah menjadi lembaran-lembaran masa lalu yang sudah mulai lapuk dimakan masa. Kenangan soal masa remaja barangkali dapat menjadi kenangan terbaik, apalagi ketika perasaan memaksamu untuk jatuh cinta begitu dalam. Perasaan seorang remaja adalah perasaan tentang bersenang-senang, bersenang-senang dengan sosok yang membuatmu ingin selalu merindu seperti ditanamkan menjadi asa yang utama.

Jatuh cinta yang sebenarnya kepada seseorang dapat membuat segala sesuatu yang sederhana menjadi terasa mewah dan berharga, misalnya ucapan selamat tidur, selamat makan atau sekedar memotong dua kerupuk rasanya begitu sweet dan tertanam di dalam relung sanubari terdalam. Berpikir tentangnya adalah perasaan yang menyenangkan dan membingungkan, dan berada di dekatnya bisa jadi adalah penawar dari kebingungan itu.

Jatuh cinta adalah saat-saat sebuah perjuangan terasa begitu indah. Bagi yang mendapati fase remaja pada tahun 80-an atau 90-an (apalagi sebelum itu) pastinya tahu betapa berharga sebuah pertemuan di depan teras rumah, atau sekedar melambai dari jendela. Atau mungkin ketika harus mengumpulkan kepingan uang logam dan rela berdiri di telepon umum untuk menelpon kekasih, belum lagi tantangan berhadapan dengan suara orangtuanya yang mungkin saja garang. Untuk menyapa pedekatepara kids jaman oldhanya bisa titip salam kepada orang, atau berkirim surat, berbeda dengan anak-anak masa sekarang yang dapat dengan mudah mengekspresikan perasaan cinta, dan semudah itu pula gonta-ganti pacar. Bukankah yang didapatkan dengan perjuangan itu lebih terasa manis?

Generasi terdahulu inilah yang paling dekat "kisah kerinduannya" dengan generasi saat ini. Ketika saya harus berhadapan dengan film "Dilan 1990" saya mendapati betapa kisah-kisah manis masa sekolah itu begitu berharga, itu yang saya dapatkan ketimbang memahami pesan moral yang ada dalam film ini. Tulisan ini bukan tentang reviewDilan 1990, hanya sesuatu yang datang dari relung hati yang membuat saya ingin menulis. Sebuah perasaan yang menimbulkan rasa sedih yang tidak mampu terjelaskan.

Menghayati Dilan 1990, yang saya rasakan adalah sebuah kerinduan dan rasa sakit yang senantiasa dibawa oleh kerinduan itu. Saya yang mengalami fase remaja pada era milenium barangkali sulit untuk memahami Dilan, tapi saya bisa menangkap bahwa film ini adalah sebuah "nostalgia" yang anti mainstream bagi mereka yang remaja pada tahun-tahun sekitaran 1990-an. Terlebih kepada mereka-mereka yang terus memendam rindu selama kurang lebih seperempat abad untuk segala kisah kasih di sekolah, di SMA.

Tawa, senyuman, berbagi makanan, kenalan dengan orangtua pacar, mengirim surat, menulis puisi dan syair pujian, kalimat gombal, jalan kaki bareng ke sekolah, naik angkot, tukaran kado, dan momen-momen yang mungkin pada zaman ini dianggap receh sebenarnya punya kesan yang tidak terlihat, melebih apa yang mampu ditangkap oleh mata: sesuatu yang menyentuh hati, pemicu rindu yang berakhir pada sebuah kenangan yang tiada mampu dikembalikan walau hanya sebentar. Dan cara paling ideal untuk mengekang kerinduan itu adalah dengan terus menjalin relasi kepada sosok-sosok dari masa lampau (bukan hanya pacar) ketika diri masih berupa jasad yang hanya mengenal api semangat yang tak mudah padam. Kita sepakat, bahwa kita pernah berharap agar waktu-waktu itu tak pernah berlalu, karena senyuman dan tawa yang manis itu ingin selalu tampak di mata.

Ketika kisah-kisah masa remaja menciptakan momen-momen yang membuat hati jatuh kepada cinta yang dalam, maka hati-hatilah kepada yang namanya rindu. Apalagi jika rindu sudah mengekang dengan ikatan cerita indah pada masa lalu. Hati-hati dengan rindu, jangan terlalu dirasakan, sebagaimana yang Dilan katakan, rindu itu berat.

Merindu itu berat, aku tak akan sanggup, biar orang lain saja.
Munafiklah aku jika kukatakan tak ingin punya cerita sendiri tentang cinta ketika remaja, ketika bersekolah dulu. Tapi, aku pun tak sanggup bila cerita-cerita indah yang kuciptakan dengan momen dan kalimat yang sweet tidak mengantarkanku kepada kebersamaan yang abadi dengannya. Biarlah hatiku sepi, ketimbang harus cemburu melihatnya bersama orang lain, dan biarlah kenanganku hampa ketimbang aku harus memendam rindu selama bertahun-tahun. Karena sekali lagi, rindu itu berat, aku tak akan sanggup, biar orang lain saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun