Dalam pembahasan material diatas, terdapat titik penting yang menentukan berapa batas material yang dapat diterima oleh semua pihak. Nilai Rp 10 juta bisa berarti material bisa berarti tidak material tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Bagi perusahaan dengan aset dan penjualan yang melebihi Rp 1 triliun, nilai tersebut mungkin tidak material namun bagi perusahaan dengan aset dan penjualan berkisar puluhan juta, nilai tersebut sangat material. Batas materialitas inilah merupakan professional judgement dari auditor.
Dengan kata lain, informasi yang termasuk dalam laporan keuangan yang mendapatkan opini WTP masih mungkin mengandung kesalahan namun kesalahan tersebut tidak mengakibatkan pengambilan keputusan yang berbeda. Opini WTP bukan berarti laporan tersebut tidak ada korupsi atau tidak ada mark up belanja atas laporan keuangan tersebut.
Bahkan ada salah kaprah yang sangat mengganggu yang dilakukan oleh Menteri Keuangan, Agus Martowardojo. Dikutip dari situs www.infobanknews.com tanggal 21 januari 2011 (http://www.infobanknews.com/2011/01/menkeu-laporan-neraca-pemerintah-sandang-predikat-wtp/ , Bapak Menteri mengatakan bahwa untuk neraca pemerintah pusat, opini auditnya adalah Wajar Tanpa Pengecualian. Tampaknya bapak menteri lupa bahwa opini audit adalah opini atas keseluruhan laporan keuangan. Bukan sepenggal-penggal. Yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Neraca dipengaruhi oleh laporan realisasi anggaran. Neraca dan realisasi anggaran juga mempengaruhi laporan arus kas. Sehingga tidak pernah ada dalam sejarah opini audit, neraca memperoleh opini WTP sedangkan laporan lainnya mendapatkan opini lain.
Seharusnya yang dikejar pemerintah bukan hanya opini Wajar Tanpa Pengecualian tetapi yang lebih penting adalah efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran untuk mensejahterakan masyarakat. Jangan sampai anggaran lebih banyak dipakai untuk belanja aparatur dibandingkan belanja publik.