Mohon tunggu...
andri sofda
andri sofda Mohon Tunggu... -

Putra kelahiran Langsa sudah menetap di Lhokseumawe untuk menyelesaikan studi Sarjana Teknik. gemar pada tindakan inovatif pada bidang teknologi sederhana dan pertanian saat ini bernaung pada organisasi rakyat berbasis komunitas adat di wilayah Aceh Pase, dan anggota dari badan pendiri organisasi JINGKI Institute yang fokus pada penerapan teknologi tepat guna berbasis pedesaan di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Belajar dari Kegagalan Tambak Intensif

18 Februari 2010   00:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[caption id="attachment_76383" align="alignleft" width="300" caption="Berbincang dengan petani tambak"][/caption] Desa (Gampong) Alue Caplie Kecamatan Seuneddon Kabupaten Aceh Utara mempunyai tambak dengan luas ± 180 Ha. sebagian besar masyarakat selain bergerak disektor pertanian juga mengusahakan tambak. Menurut masyarakat setempat, potensi tambak di Desa Alue Caplie dan sekitarnya adalah jenis usaha yang menjanjikan untuk masa depan dan memberikan keuntungan yang lebih besar. Apalagi permintaan pasar terhadap hasil tambak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pertanian tambak di di daerah tersebut sudah dimulai sejak tahun 1984, masyarakat mulai membuka lahan tambak dan mengelolanya secara tradisonal. Mereka melakukan budidaya ikan mujair. Pada saat itu masyarakat belum mengenal penggunaan bahan kimia sintesis dan pestisida lainnya. Beberapa tahunnya berikutnya mereka mulai membudidayakan udang windu secara tradisional. Saat itu mereka belum mengenal sistem pembibitan. Bibit udang diperoleh secara alami, yakni berasal dari laut yang dialiri melalui alur sungai yang kemudian dialiri ke tambak. Begitu juga dengan sistem perawatannya masih dilakukan secara alami tanpa pemberian pakan maupun pupuk. Salah seorang pemilik tambak mengatakan bahwa saat itu hasil panen yang mereka peroleh sangat bagus dan jarang terkena penyakit. “Wate nyan kamoe han tom keunong penyaket dan wate panen han tom meumasalah”, ujar Razali, 45 tahun salah seorang petani tambak setempat. Pada tahun 1988, kegiatan tambak mulai mengenal sistem pembibitan. Hasil panen tambak sudah mulai dijual ke agen lokal (toke udeueng). Semenjak tahun 1990, budidaya secara intensif mulai digalakkan oleh masyarakat. Penggunaan pupuk, racun pestisida dan pemberian pakan khusus untuk merangsang peningkatan produksi pun tidak dapat dihindarkan. Hasil panen meningkat, namun hanya bertahan selama 2 tahun. Saat itu masyarakat Desa Alue Caplie mulai membuat tambak baru dengan menggunakan alat berat. Sedangkan di tahun 1992, hasil tambak mulai menurun karena diserang penyakit merah dan udang lumpuh. Banyak petani tambak meninggalkan usahanya karena bangkrut dan mengalami kerugian. Keadaan ini diperparah kembali akibat bencana gempa dan tsunami tahun 2004 lalu, menyebabkan kerusakan tambak dan petani mengalami kerugian. Selain itu terdapat beberapa permasalahan yang mendasar seperti virus udang, formulasi pupuk kimia, saluran air yang dangkal, serta harga jual tidak stabil menjadi sumber kemalasan bagi petambak itu sendiri untuk melanjutkan usaha tambaknya, sehingga banyak tambak dibiarkan terlantar begitu saja. [caption id="attachment_76388" align="aligncenter" width="400" caption="Gubuk di tambak yang terbengkalai"][/caption] Sebenarnya masyarakat sadar ingin melakukan perubahan untuk mengatasi permasalahan ini. Namun, mereka masih ragu-ragu mencoba untuk kembali ke sistem tambak alami. Selain itu kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengelola tambak secara berkelanjutan tanpa merusak biota dan lingkungan menjadi kendala tersendiri bagi mereka untuk keluar dari persoalan ini. Pengetahuan dan informasi  menjadi bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dalam melakukan perubahan. Atas dasar inilah, kami yang tergabung dalam organisasi Jaringan Komunitas Masyarakat Adat  (JKMA Pase) melakukan pendampingan bagi petani tambak melalui kegiatan ujicoba penggunaan pupuk organik pada budidaya bandeng dan udang windu. Kegiatan ini sendiri merupakan bagian dari kegiatan Sekolah Lapangan Pertanian Organik yang kami adakan di Gampong Alue Caplie Kecamatan Seunuddon Aceh Utara 2008-2009 lalu. Kegiatan uji coba pertama dimulai sejak Agustus 2008 lalu, dengan menggunakan slurry biogas sebagai pupuk organik pada tambak. Kegiatan ini melibatkan anggota Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Biogas yang berjumlah 5 orang terdiri atas 1 perempuan dan 4 laki-laki. Slurry itu sendiri merupakan limbah biogas, yakni kotoran ternak yang hilang gasnya yang diperoleh dari tiga unit digester yang dibangun tahun 2006 lalu oleh JKMA Pase dengan bantuan dana dari Hivos Netherland. Slurry itu berupa slurry padat maupun cair, yang sangat kaya akan unsur-unsur tertentu yang dapat memperbaiki unsur tanah seperti protein, selulose, lignin dan lain-lain. Selain dapat digunakan untuk memperbaiki unsur hara tanah yang dibutuhkan tanaman, slurry juga dapat merangsang dan meningkatkan pertumbuhan plankton yang menjadi sumber makanan untuk udang dan ikan di tambak. Pada tahap awal ujicoba slurry untuk tambak, dilakukan kegiatan penentuan lokasi uji coba. Luas tambak yang dilakukan untuk uji coba pupuk slurry tersebut seluruhnya adalah 5216 m2, yang merupakan milik petani tambak anggota kelompok. Sebelum memulai kegiatan uji coba, anggota peserta sekolah lapangan terlebih dahulu mengumpulkan slurry dari biogas dan membuat pupuk organik dari dari kotoran ternak. Jumlah pupuk yang diproduksi untuk kebutuhan uji coba tambak hanya 600 kg. Praktek uji coba ini diterapkan pada budidaya udang windu dan ikan bandeng. Secara umum petani tambak di Gampong Alue Caplie masih akrab dengan pupuk dan pestisida kimia dalam melakukan usaha tambaknya. Konteks program ujicoba ini, akan lebih mengupayakan penggunaan pupuk organik sebagai pengganti bahan kimia sintesis yang sering digunakan petani tambak selama ini. [caption id="attachment_76397" align="aligncenter" width="400" caption="Pembersihan kembali tambak untuk tempat ujicoba"][/caption] Dalam tahap persiapan praktek ujicoba, anggota peserta sekolah lapangan melakukan pembersihan tambak dengan menggali bagian tanah permukaannya dengan kedalaman rata-rata 30 cm. Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan lumut yang mengganggu proses pertumbuhan plankton, yang menghabiskan waktu selama 6 hari. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengambilan siput dari dalam tambak. [caption id="attachment_76401" align="aligncenter" width="228" caption="Pemberian pupuk organik di tambak"][/caption] [caption id="attachment_76403" align="aligncenter" width="400" caption="Pelepasan benih ikan bandeng dan udang windu"][/caption] Selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan pemberian pupuk organik. Seminggu kemudian setelah pertumbuhan plankton baru dilanjutkan dengan penaburan benih yang terdiri dari 5.000 ekor benih udang windu dan 700 ekor benih ikan bandeng. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan anggota kelompok menunjukkan bahwa pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng pada uji coba ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya disebabkan pakan alami tersedia dengan cukup. Menurut Abdurrahman, 40 tahun, salah seorang petani tambak di Alue Caplie mengatakan bahwa pertumbuhan ikan bandeng sangat cepat dan sepertinya pupuk organik ini sangat cocok untuk tambak. “Baro si buleun eungkot ka lage nyoe rayek, beurarti cepat that pertumbuhan, beda lage biasa jih. Sang got pupok nyoe taboh bak neuheuen”. Ujar Abdurrahman dengan menggunakan bahasa Aceh, Artinya; “Baru satu bulan sudah segini besarnya, berarti lebih cepat besar, berbeda seperti biasanya, sepertinya bagus pupuk ini dipakai di tambak” sambil menunjukkan ikan bandeng yang diambil dari tambak ujicoba. [caption id="attachment_76408" align="aligncenter" width="450" caption="Kegiatan panen ikan bandeng dan udang windu di tambak ujicoba"][/caption] Pada umur 2 bulan, ikan bandeng mencapai 7 – 8 ekor per kg. Menurut anggota peserta sekolah lapangan lainnya, mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman bertambak biasanya pada umur 2 bulan ikan masih 9 – 10 ekor per kg. Angka ini menunjukkan suatu keberhasilan dimana penggunaan pupuk organic sepenuhnya dapat menggantikan penggunaan pupuk kimia, bahkan kondisi tanah berangsur membaik, permukaan tanah di tambak tidak keras dan tanah menjadi lebih hitam. [caption id="attachment_76410" align="aligncenter" width="450" caption="Memperlihatkan ikan bandeng dari tambak ujicoba seusai panen"][/caption] [caption id="attachment_76411" align="aligncenter" width="400" caption="Saat meninjau tambak ujicoba"][/caption] Serangkain kegiatan yang kami mulai dari kotoran sapi kini membuahkan banyak hasil yang telah dirasakan oleh masyarakat, baik langsung atau tidak langsung. kotoran sapi kini telah menjadi barang berharga di daerah itu, masing-masing anggota masyarakat tidak lagi memberikan kotoran sapi mereka kepada orang lain, mereka sudah memerlukan untuk usaha pertanian dan perikanan. Kios penjual pupuk dan pestisida kimia di daerah tersebut satu  persatu mulai tutup, sebagian besar masyarakat tidak perlu lagi membeli itu. kami anggap tugas kami sudah selesai untuk daerah itu, tugas besar lain menanti. Salam Indonesia Lestari. Tulisan ini juga saya muat di Blog pribadi saya ; www.andrisofda.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun