Bayangkan wajah Anda, tersenyum di foto wisuda dan terekam dalam story kampus, tiba-tiba muncul dalam video porno yang tidak pernah Anda buat. Anda tidak tampil di sana, tapi wajah Anda ada. Anda tahu itu bukan Anda, tetapi dunia seakan tidak peduli. Itulah horor nyata yang menimpa banyak perempuan di era digital, termasuk seorang mahasiswi di Jawa Barat yang menjadi korban deepfake pornografi.
Kasus Nyata: Mahasiswa Unud dan 200 Lebih Korban
Pada April 2025, seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Bali berinisial SLKDP diduga membuat dan menyebarkan konten pornografi palsu menggunakan teknologi deepfake. Ia memanipulasi wajah puluhan mahasiswi dari berbagai universitas di Indonesia, lalu menyebarkannya melalui grup Telegram. Kasus ini mencuat setelah sejumlah akun media sosial membongkar konten tak senonoh tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun, lebih dari 200 perempuan menjadi korban manipulasi wajah. SLKDP menggunakan bot AI untuk mengedit foto rekan-rekannya menjadi konten pornografi.
Dampak Psikologis yang Mendalam
Korban-korban deepfake pornografi mengalami tekanan berat berupa depresi, gangguan kecemasan, dan beberapa terpaksa drop out dari perkuliahan. Alih-alih mendapat dukungan, banyak yang justru disalahkan. Institusi pendidikan pun masih kebingungan karena belum ada payung hukum khusus untuk menjerat pelaku deepfake pornografi.Â
Payung Hukum yang Masih Belum MemadaiÂ
UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi
UU ini mengatur pembuatan dan penyebaran data pribadi palsu, dengan ancaman pidana pada pasal 66 jo. pasal 68.KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)
KUHP baru mengancam pelaku deepfake bermuatan pornografi dengan pasal 407, penghinaan dan pencemaran nama baik dengan pasal 433, 434, 436 jo. pasal 441, serta kebencian dengan pasal 243.
Meskipun beberapa pasal di atas dapat digunakan, belum ada ketentuan eksplisit yang menargetkan praktik deepfake pornografi. Akibatnya, proses penegakan hukum sering tertunda karena aparat kesulitan menentukan payung pasal yang tepat.
Mengapa Kita Tidak Boleh Diam
Di tengah laju digitalisasi, simpati saja tidak cukup. Regulasi khusus tentang kekerasan seksual digital perlu segera disahkan. RUU Perlindungan Data Pribadi harus dilengkapi pasal yang mengkriminalisasi deepfake pornografi. Selain itu, perlu ada RUU terpisah tentang kekerasan seksual digital yang mencakup revenge porn, stalking online, dan bentuk-bentuk kekerasan berbasis teknologi lainnya.
Deepfake pornografi bukan sekadar efek samping teknologi atau "lucu-lucuan". Ini adalah kekerasan seksual yang nyata, merampas hak privasi dan martabat perempuan. Tanpa respon hukum yang tegas, korban akan terus menderita dan malu di ruang publik. Saatnya kita bersuara agar ruang digital menjadi tempat yang aman dan berkeadilan bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI