Pemerintah melalui Mentri Keuangan, Sri Mulyani, secara resmi memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok dengan rata-rata kenaikan 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau ini tidak hanya berlaku untuk jenis rokok konvensional saja, tapi juga jenis rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL).Â
Bahkan untuk jenis rokok elektrik kenaikan tarif cukainya akan berlangsung terus setiap tahun selama lima tahun kedepan.
Salah satu tujuan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok ditahun 2023 dan 2024 ini adalah untuk menurunkan angka perokok anak (usia 10-18 tahun) menjadi 8,7 persen sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Namun pertanyaannya, apakah kenaikan tarif cukai rokok ini efektif untuk menekan angka perokok pada anak?
Penulis sebagai seorang perokok aktif berpendapat bahwa kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok bukanlah solusi yang tepat jika tujuanya adalah untuk menurunkan angka perokok anak.
Ibarat resep dari dokter, menaikkan tarif cukai rokok adalah sebuah pemberian resep obat yang salah jika tujuannya adalah ingin menurunkan angka perokok anak.
Tingginya angka perokok anak di Indonesia saat ini bukan hanya disebabkan oleh murahnya harga rokok semata, tapi banyak faktor lain yang menjadi penyebab mengapa perokok anak banyak terdapat di Indonesia.
Diantara faktor-faktor penyebab banyaknya perokok anak di Indonesia tersebut menurut analisa penulis adalah sebagai berikut :
1. Faktor budaya
Budaya merokok adalah sebuah budaya yang telah lekat dengan sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Bedanya dengan saat ini, perokok pada zaman dahulu bukan merokok bentuk rokok yang sudah jadi atau hasil dari produksi perusahaan rokok, tapi merupakan rokok yang masih dibuat dan dikreasikan sendiri dengan tangan oleh nenek moyang kita.
Hal ini bisa dibuktikan dengan sebuah analisis bahwa mayoritas perokok di Indonesia adalah berasal dari keturunan keluarga yang juga perokok.
Selain itu, budaya merokok di Indonesia juga kental kaitanya dengan budaya "ngopi" dimasyarakat. Dimana hampir bisa dipastikan, bahwa setiap orang yang merokok biasanya juga adalah seorang penikmat kopi .
Budaya "ngopi" dan budaya merokok di Indonesia adalah sebuah budaya yang saling berkaitan erat satu sama lain dan sama-sama telah menjadi budaya bagi mayoritas kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia sejak zaman dahulu kala.
Akibat dari adanya faktor budaya ini, maka pihak orang tua dan keluarga biasanya akan menganggap bahwa anak-anak mereka yang merokok adalah sebuah hal yang lumrah, wajar dan biasa saja dalam kehidupan mereka.
2. Faktor lingkungan.
Faktor lain selain faktor budaya yang menjadi penyebab banyaknya anak-anak menjadi perokok adalah faktor lingkungan.
Anak-anak yang tinggal dilingkungan perokok mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk menjadi perokok jika dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal dilingkungan yang bukan perokok.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan dimana anak-anak tinggal akan sangat berpengaruh terhadap kebiasaan merokok pada anak.
Lingkungan perokok biasanya juga akan lebih permisif terhadap kondisi terjadinya perokok anak jika dibandingkan dengan lingkungan yang bukan perokok.
3. Faktor kemudahan dalam mendapatkan rokok.
Rokok di Indonesia adalah sebuah barang legal yang bebas dijual dimana saja. Mulai dari warung kelontong sampai di supermarket, rokok bebas dijual belikan.
Meskipun didalam bungkus rokok sendiri sudah diberi label larangan untuk menjual rokok pada anak dibawah usia 18 tahun, namun label tersebut seperti sama sekali tidak berpengaruh terhadap tingginya angka perokok anak karena mayoritas penjual rokok tidak membaca dan memahami apa maksud dari label tersebut, sehingga mereka tetap akan melayani apabila ada anak-anak yang melakukan pembelian rokok.
Larangan pembelian rokok untuk anak usia dibawah 18 tahun hanya efektif dilakukan di supermarket saja, padahal faktanya mayoritas produk rokok justru dijual di warung-warung yang ada di pinggir jalan.
Bukan hanya dalam bentuk bungkusan, rokok yang dijual di warung-warung yang ada dipinggir jalan biasanya juga akan dijual dalam bentuk batangan.
Mudahnya rokok diakses oleh anak-anak bahkan juga sudah banyak dijual dilingkungan sekolah yang seharusnya steril dari asap rokok.
Pedagang rokok dilingkungan sekolah biasanya akan menjual rokok kepada anak-anak sekolah dalam bentuk batangan sehingga semakin mudah bagi anak-anak sekolah untuk mendapatkan rokok.
4. Faktor lemahnya regulasi soal larangan penjualan rokok kepada anak-anak.
Secara spesifik bisa disebutkan bahwa belum ada aturan sama sekali yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan larangan penjualan rokok untuk anak-anak.
Yang ada saat ini hanyalah himbauan dalam bentuk tulisan yang ada dibungkus rokok untuk tidak menjual rokok kepada anak-anak dibawah usia 18 tahun.
Tidak adanya aturan yang melarang secara tegas penjualan rokok kepada anak-anak ini menjadi bukti bahwa pemerintah terlihat seperti setengah hati dalam melakukan kebijakan penurunan angka perokok pada anak.
Disatu sisi pemerintah menginginkan penurunan angka perokok pada anak, namun disisi lain pemerintah justru melakukan pembiaran terhadap aksi penjualan secara bebas produk rokok kepada anak-anak dipasaran.
Kesimpulan
Berkaca pada empat faktor penyebab tingginya angka perokok pada anak di Indonesia diatas, penulis meyakini bahwa kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai rokok untuk tujuan menurunkan angka perokok pada anak adalah sebuah kebijakan yang salah dan tidak tepat.
Pemerintah seolah berupaya menyederhanakan masalah dengan menganggap bahwa penyebab tingginya angka perokok anak di Indonesia adalah disebabkan oleh masih terjangkaunya harga rokok dipasaran.
Padahal, penyebab yang sesungguhnya banyaknya perokok anak di Indonesia adalah lebih kompleks lagi dari hanya sekedar soal harga rokok semata.
Yang paling penting menurut penulis adalah pemerintah harus berani membuat sebuah kebijakan atau regulasi yang bisa benar-benar membatatasi penjualan rokok dipasaran kepada anak-anak dibawah usia 18 tahun, bukan hanya sekedar himbauan yang ditulis di bungkus rokok.
Regulasi dimaksud juga harus disertai dengan sanksi yang tegas kepada oknum-oknum pedagang yang berani menjual rokok kepada anak dibawah usia 18 tahun, agar muncul efek jera bagi para  oknum pedagang nakal yang menjual rokok kepada anak-anak.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pembatasan terhadap peredaran rokok dipasaran. Rokok tidak boleh lagi dijual bebas seperti saat ini, tapi dijual terbatas dengan aturan dan syarat ketat tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Yang tidak kalah pentingnya juga adalah, pemerintah harus berupaya melakukan pendekatan budaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya negatif dari budaya merokok.Â
Prosesnya memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama, tapi jika berhasil pendekatan budaya justru akan memberikan hasil yang nyata terhadap upaya untuk mengurangi perokok anak di Indonesia.
Sekian, semoga bermanfaat!
Pematang Gadung, 5 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H