Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Lelaki Kurus

17 Januari 2010   11:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:25 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_55732" align="alignleft" width="227" caption="Pedang dari Tuhan lebih mudah kita ayunkan dengan tangan-tangan kurus kita, sahabat. Karena pedang itu sudah diselipkan dibalik dada-dada tak berisi kita (Gbr: Reading Islam)"][/caption] Kita sudah seringkali berjabat tangan, tanpa mempergunakan telapak tangan yang dibungkus kulit bertulang. Sebuah ketidakmungkinan berhasil kita ujudkan sebagai sebuah hal yang memang sebenarnya ada. Semuanya dengan cinta. Kukira engkau juga tidak lagi melihat bahwa cinta itu hanya untuk orang-orang yang keluar dari rahim kita pernah bertempat. Ataupun hanya kepada pemilik rahim yang telah mengizinkan kita bersiap-siap menerima sertifikat Tuhan sebagai manusia. Hingga kita kemudian keluar dari sela-sela selangkangan dan terus menapakkan kaki di jengkl-jengkal tanah. Hari ini, aku sepertimu juga, masih hanya sebagai seorang lelaki kurus. Kita tidak terlalu kuat untuk mengayunkan pedang-pedang yang bisa ditebas ke leher para musuh. Bola matamu, penuh keyakinan, Goliath bisa dijatuhkan hanya dengan satu ketapel kecil saja. Mari bersamaku, kita busungkan dada, sebagai bagian dari lelaki kurus. Iya, kita kurus mungkin karena memang jiwa ini merasa berdosa untuk leluasa menikmati malam.  Tidak leluasa menikmati setiap kunyahan makan. Tidak merasa nyaman untuk menenggak suplemen agar tubuh-tubuh kita lebih berisi. Iya, aku bisa membaca dari gurat keningmu, bahwa memilih jalan hidup seperti sebagian tetangga kita yang masih kewalahan sekedar untuk mendapat satu liter beras, menjadi sebuah keniscayaan. Akupun percaya, engkau hanya tertawa saja, saat beberapa orang menertawakanmu karena begitu saja menjual tubuhmu serupa pelacur dengan harga murah. Karena, seperti yang pernah kau sebut di suatu ketika. Bukan persoalan mahal dan murah dalam takaran manusia yang menjadi ukuran keberhargaan. Tetapi persoalannya terletak pada kesanggupan atau tidaknya kita untuk memberi serupa dengan bayaran yang diberikan. Kita berjalan sambil tertawa, karena mereka juga sudah terlanjur menertawakan kita tentang konsep keberkatan yang sudah dipandang sebagai bagian pikiran orang-orang purba. Dan hari ini kita menjadi manusia purba ditengah gerak eskalator di begitu banyak mall. Kita menjadi manusia purba ditengah sebagian manusia yang sudah bisa masuk hanya dalam kotak-kotak kecil yang sering dipajang di ruang-ruang tamu mereka yang lebih sejahtera dari kita. Mari, secangkir kopi untukmu, lelaki kurus. Karena kita telah memilih keluar dari semua kotak, agar kian leluasa tubuh ceking dan kaki yang nyaris tak berdaging menapak bumi, sekedar mengajak mereka bicara tentang cinta dengan bahasa yang kita bisa. Kita boleh saling menertawakan sahabat. Akupun menertawakan rambutmu yang kutahu sudah dua minggu ini tidak kau keramasi, tak tersentuh shampoo. Tawaku karena menghargai pandanganmu, membeli sachet-sachet shampoo itu hanya memperkaya mereka yang telah kaya. Sedang mereka tidak pernah pedulikan siapa-siapa. Yang ada hanya semakin memperpanjang begitu banyak sejarah durja. Membuat banyak ulama tanpa mengerti apa-apa meminjamkan pecinya untuk kharisma penguasa. Membuat sekian banyak rakyat jelata semakin sengsara, dengan tanah-tanah yang kian habis untuk berdirinya tonggak-tonggak pengusaha loba. Meski, satu ketika juga, aku pernah meledekmu,"ah, kau satu sachet shampoo saja sudah kau pikirkan akibat yang begitu jauh." Saat itu kau hanya tersenyum menampakkan gigi yang mulai berlobang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun