Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Senggama

16 Februari 2010   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_75317" align="alignleft" width="300" caption="entah kenapa, waktu itu terus saja berjalan (Gbr: Google)"][/caption] Matahari Jakarta sedikit lebih ramah, menjelang siang ini. Kemarin sepertinya sedikit lebih angkuh menampar wajah sopir-sopir taksi di Jatinegara mengejar calon penumpang. Terjalin sebuah cerita hari ini dan cerita kemarin, cerita kemarin dan cerita hari ini. Pergulatan terbentuk, hari ini ataukah kemarin yang harus dilihat lebih terang. Kemarin, aku berada di Bandung. Menatap lekat wajah kekasihku. Saat aku sedang berkutat dengan pikiran yang memaksaku untuk lebih serius melihat perjalanan waktu. Dengan keindahan senyumnya, beban hidup yang masih belum begitu terang menyorot langkah yang musti kuayunkan, tidak terlalu terasakan. Karena beban itu terkalahkan oleh keindahan senyumnya. Sedangkan hari ini, kebetulan sekali senyum itu sedang tidak berada di ujung mataku. Karena kaki ringkih sedang menapaki jalanan Jakarta, tapak kaki yang menjadi ujung pena yang muntahkan tinta serupa diare lelaki renta. Dalam kezaliman karbondioksida yang melecut punggung bumi yang pernah dikenal sebagai Batavia.

***

Matahari adalah catatan kesendirian. Catatan tentang ketidaktertarikan pada bulan yang cenderung dipandang indah, sedangkan cahayanya adalah pencurian mantel-mantel cahaya dari rumah matahari. Tidak sedikit lelaki yang dalam diamnya bergulat untuk menjadi bulan manja ataukah memilih untuk menjadi matahari sangar. Menjadi matahari terkadang cenderung terjauhi oleh mereka yang mungkin merasa terganggu dengan panasnya. Tetapi matahari tetap saja harus menjalankan perannya untuk terus bisa menebar panasnya pada terbentuknya keberlangsungan hidup, dalam partikel-partikel energi. Kendati energi itu tidak pernah berubah menjadi aksara yang bisa dipergunakan manusia untuk sekedar bisa menulis dua kata: terima dan kasih yang kemudian didudukkan pada persandingan etika dan moral. Sepertinya, menjadi lelaki adalah keharusan untuk menerima diri dan terus memaksa diri untuk tetap menjadi matahari, kendati harus bercokol sendiri di ruang langit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun