Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menampar Jenderal

6 Desember 2009   15:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jikapun hari ini, dalam kemuliaan sebagai manusia, aku disebut sebagai seorang raja yang hanya layak untuk memimpin binatang. Aku percaya, aku tidak serta merta akan menjadi binatang. [caption id="attachment_34356" align="alignleft" width="300" caption="Maaf Jenderal, izinkan aku menamparmu..."][/caption]Entah dalam kemuliaan seperti apa yang selama ini kita banggakan atau kita sanjung. Tetapi, dalam kacamataku, dengan semua kebodohan yang kumiliki, aku melihat semua termungkinkan untuk dihina dan merasa terhina. Dan semua itu terbaca dengan abjad-abjad yang masih bisa kueja. Seorang Presiden merasa bangga dengan ketinggian posisinya. Seorang Jenderal merasa gagah dengan bintang di pundaknya. Seorang selebritis akan bangga dengan semua ketenarannya. Sedangkan aku merasa bangga karena 'belum' berkesempatan untuk menjadi bagian dari penghancur negara ini. Tetapi, saat menyandingkan diri saya dengan Presiden, dengan Jenderal. Sepertinya saya sendiri juga tidak berbeda dengan mereka. Bisa dihina dan merasakan terhina. Saat dengan kejujuran menunjukkan dan berteriak: "Wahai yang bisa melihat, wahai yang bisa mendengar. Aku bukan malaikat. Ini ketololanku, ini kegoblokanku." Di koran-koran, terpampang caci maki yang menjadi berita. Di televisi, hujatan menjadi reportase pagi. Sekarang, izinkan aku menjadi seorang Jenderal yang meminta semua perwira dan prajurit untuk balik badan. "Bisakah kita memotong daun-daun telinga pemimpin dengan kelembutan. Seperti belaian seorang kekasih pada kekasih yang teramat dicintainya?" Mereka yang ingin disebut sebagai orang-orang tegas, akan membusung dada teriak,"Jenderal, engkau tolol. Kelembutan itu hanya layak untuk dimunculkan di tempat tidur, saat sedang membutuhkan dekapan istri. Tetapi dalam permasalahan seperti ini, kalimat caci maki selalu lebih baik!!!" Lalu aku mencoba mengenakan seragam seorang serdadu dengan pangkat terendah. Aku mencoba menampar para jenderal, kucoba robek seragam semua perwira. Kuambil semua lencana. Melemparnya ke dalam beratus selokan hitam, "ketegasan bukan caci maki. Ketegasan adalah cinta. Yang memperjelas kebenaran dengan kelembutan. Kita, para serdadu tidaklah akan mati dengan mulia jika membunuh musuh dengan tinja. Sebab, tinja-tinja itu hanya akan membuat kita menjadi pemilik tubuh-tubuh pembawa aroma busuk. Saat seluruh negeri telah dipenuhi oleh aroma busuk itu. Bagaimana laskar penghancur kemunafikan bisa berjalan tenang? Justru musuh yang akan membabat tubuh-tubuh kita Jenderal." Selanjutnya, detik ini, aku merasa iri pada lencana perwira yang malah tersemat pada mereka yang tidak pernah mengenal definisi moral. Tetapi hari ini, kuakui senjata yang kumiliki hanya revolver satu peluru yang kubeli dari sisa membeli sebatang rokok siang tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun