Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malaysia Menjual Keperawanan

30 Mei 2010   20:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:51 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keperawanannya terjual. Keasliannya hilang dengan modernitas yang begitu ganas.

***

[caption id="attachment_153921" align="alignleft" width="300" caption="Gadis Malaysia yang menjadi politikus"][/caption] Sebuah negara yang sering digolongkan sebagai salah satu bagian Asia yang bisa melaju dengan pesat. Tetapi, ditengah semua perkembangannya terdapat sesuatu yang tak terawat. Yap, sebelumnya saya harus terangkan bahwa coretan ini berangkat dari sentilan rekan Hazmi Srondol yang pada Minggu (30/5) baru saja pulang dari negara jiran tersebut, Malaysia. Dalam lelah yang saya yakin belum punah, "Dewa Banyol Kompasiana" tersebut masih berkesempatan menuangkan tulisan yang sarat humor, tetapi secara begitu halus ia melemparkan sentilan cukup menarik atas sekian gambaran negara tersebut, keperawanan atawa keaslian yang semakin jauh seperti tanah pantai dengan awan. "Terbayang di pelupuk mataku sosok Upin dan Ipin yang lucu dan polos dengan logat Melayu yang kental saat aku masih di kabin pesawat dalam penerbangan menuju ke Malaysia hari itu". Tulis rekan ini dalam tulisannya: Malaysia Kayak…(Titik-titik). Sebuah harapan yang sangat masuk akal dari seorang pengunjung dari luar negara itu. Namun apa yang selanjutnya terjadi? [caption id="attachment_153922" align="alignright" width="300" caption="Keindahan itu ada dalam keaslian"][/caption] "Duh Malaysia, mbok ya tonjolkan budaya Melayumu saja agar kami yang jalan-jalan ke negaramu tidak menemukan bayangan budaya atau lokasi negara lain. Tidak kalah menarik kok budaya Melayu. Nyatanya Upin dan Ipin sangat terkenal di negara kami". Srondol meluapkan kekesalannya. Nah, dari yang dikritisi secara cukup santun oleh bapak 2 anak ini cukup menjadi bahan renungan untuk kita. Siapa lagi, saya, anda dan kita semua untuk tidak sampai membuat tergerus nilai-nilai khas yang ada di persada ini. Karena yang paling menarik dari sebuah negara maju bukan dengan mengikis habis 'apa saja' yang bersifat tradisionil. Jelas itu merupakan bagian mahal dari sekadar kemodernan. Bukan pilihan bijak saya kira, ketika alasan untuk memajukan negara maka semua yang ada harus dihilangkan dulu. Karena saya berkeyakinan--silahkan untuk menyebut subjektif-- modernitas dengan semua kemajuan dan sisi plus lainnya tetap ada, tetapi tidak menutup mata bahwa modernitas itu masih bisa disandingkan dengan pembangunan dan kemajuan itu sendiri. Karena seingat saya, modernitas tidak pernah mengsyaratkan ketergerusan nilai dan apa saja yang menjadi kekhasan. Ibarat seorang perawan (lagi), silahkan untuk mempercantik diri, tetapi make up yang begitu tebal sampai tidak memperlihatkan lagi kulit aslinya tetap tidak layak untuk disebut cantik karena yang sedang digunakan itu tidak lebih dari topeng saja. Topeng yang akan hilang hanya dengan hujan rintik-rintik, sedang yang tertinggal adalah wajah yang berjerawat disebabkan 'zat kimia' alat kosmetik yang sudah tidak proporsional. [caption id="attachment_153923" align="alignleft" width="274" caption="Ini bukan Malaysia"][/caption] Sebagai komparansi, Jepang sebagai salah satu "Dewa"  modernitas di Asia bahkan dunia, namun dengan bangga mereka tetap tonjolkan keaslian mereka. Contoh kecil saja kimono yang masih dikenakan dari sejak ratusan tahun silam, dan sekarang bahkan --mungkin-- juga dipakai oleh Anda, istri dan keluarga Anda (tidak dengan saya sendiri karena pertimbangan tersendiri). Seijin Shiki (mengutip tulisan Nufransa Wira Sakti), sampai sekarang masih ada. Bahkan hari perayaan menyambut usia itu dijadikan sebagai hari libur nasional. Padahal--bersumber dari berbagai referensi-- Seijin Shiki ini sudah ada  dari sejak jaman kuno. Namun masih dipertahankan hingga hari ini, sungguh layak disebut sebagai bentuk apresiasi yang tidak sederhana pada khasanah orisinil negara tersebut. Sampai pada nama penduduknya saja, sampai sekarang mereka masih memiliki kekhasan cukup kuat. Jika ada nama yang sedikit kebulean seperti misal Robert Kiyosaki dan beberapa nama populer lainnya, tetapi perubahan sekecil ini saja bisa disebut langka di negeri tersebut. [caption id="attachment_153924" align="alignright" width="300" caption="Rumoeh Aceh, salah satu bagian nilai Indonesia"][/caption] Sepertinya, dalam hal 'keperawanan' negara-negara di Asia layak untuk melihat lebih jeli dan dalam pada Negeri Sakura tersebut. Dan Indonesia semoga saja juga masih memiliki cinta yang dalam pada nilai-nilai yang masih ada untuk tidak pernah tergerus atau tergores syahdan atas nama maha modernitas sekalipun. Karena, sekali lagi modernitas tidak pernah mengsyaratkan penghilangan pada keaslian dari suatu negara. ---------------- Thanks to: Brads Hazmi Srondol untuk tulisan yang "mahal dan segar" tersebut. Also Published in: fickar.wordpress.com Sumber Gambar: 1, 2, 3, 4

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun