Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hazmi Srondol dan 2 Malaikat

15 Juni 2010   08:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Siapa bilang seseorang layak disebut serius hanya jika melulu menunjukkan wajah serius

saat melakukan tanggung jawab yang serius. Buktinya, saya memiliki 'stock' sahabat yang berwajah tidak serius, ketampanannya juga tidak serius tetapi mampu melakukan hal serius dengan cara serius (semoga saja yang bersangkutan tidak murka karena saya sebut ia memiliki ketampanan tidak serius dan mengutuk saya jadi batu-bata).

***

[caption id="attachment_167692" align="alignleft" width="300" caption="Hazmi bersama anak-anak saat mengikutinya shalat (Gbr: Hazmi Srondol)"][/caption] Melihat dari tulisan-tulisannya, bisa disebut seluruhnya berisi guyon. Guyon yang ia angkat dari perjalanan keseharian yang dialaminya. Dari kantor sampai kemana saja ia ngeloyor. Dari motor yang main nyosor sampai kakinya selonjor. Maksud saya, sampai ketika ia pulang kantor, hilangkan lelah sambil selonjor. Semuanya menjadi amunisi untuk lelaki yang enggan disebut tua ini yang dilesatkan dalam tulisan-tulisannya yang selalu mengundang tawa. Dari tulisan-tulisannya. Satu sisi, memang terlihat hanya guyon. Tapi dari berbagai sisi, melihat tulisan yang dikesankan tidak serius dari cara yang serius. Di sana akan terketemukan berbagai pelajaran menarik. Pelajaran yang menurut saya tidak sederhana. Karena pelajaran itu dengan sukses disampaikan dengan 'formula canda' yang notabene bisa dipastikan tidak terkesan menggurui. Tidak akan diketemukan kalimat-kalimat semisal;"untuk jadi sukses seperti saya, elu harus seperti ini, bla bla bla." Atau,"Untuk bisa menjelajahi banyak belahan dunia sampeyan harus seperti ini, seperti itu, seperti pocong, seperti kuntilanak atau seperti dukun beranak." Itu tidak ada dalam tulisan lelaki yang baru memiliki 2 anak (semoga bisa bertambah sebanyak-banyaknya). Ups, jangan kerutkan kening jika saya terlihat seperti bercanda mendoakannya memiliki anak sebanyak-banyaknya. Karena doa tersebut bukan tanpa pertimbangan. Justru itu muncul setelah saya menyimak-nyimak, lelaki tidak serius ini bisa serius dalam cara ia menangani anak. Dari berbagai artikel yang ia alirkan seperti bentuk cerita--ini salah satu pola penulisan yang menjadi kelebihan lelaki ini juga, saya mendapati, cara renyahnya saat ia membangun dialog dengan anak-anaknya, seperti apa cara menyikapi berbagai rasa ingin tahu anaknya. Juga, bagaimana ia dengan seimbang membagi waktu antara kerja dengan waktu untuk keluarga. Dari sini, saya mendapat sebuah konsep, menjadi seorang ayah yang baik untuk keluarga tidak mesti selalu berkopiah dan pintar berkhotbah. Sebab, pendidikan untuk anak sekalipun bisa disampaikan dengan cara yang renyah. Tidak ada sumpah serapah yang membuat anak selalu dibalut resah dan gelisah. 1. Komunikasi dengan Anak. Ada yang unik dalam cara ia berinteraksi dengan anaknya. Pandu Padmogani Zakat yang memiliki nama [caption id="attachment_167695" align="alignright" width="300" caption="Thole saat sedang merajuk (Gbr: Hazmi)"][/caption] kecil Thole, anaknya yang pertama, kerap disapa dengan "Mas." Panggilan yang dari perspektif filosofistik, si kecil tersebut begitu dihargai oleh orang tuanya. Kalau ditilik dari disiplin ilmu pendidikan juga, saya yakin tidak akan ada bantahan bahwa seorang anak yang terbiasa dalam irama pendidikan yang menghargai, kelak besar kemungkinan akan menjadi seorang anak yang mampu menghargai. Dari sini, sebuah kemampuan interpersonal sudah mulai dipupuk. Maka, terkadang, saat melihat photo anak-anak lelaki tersebut di fesbuknya, acap saya komentari dengan:"Saya seakan melihat gambar Lukmanul Hakim dengan anaknya." Lukmanul Hakim yang saya sebut itu adalah satu figur yang diabadikan dalam al Quran sebagai Wali Allah yang bijaksana, ahli hikmah. Sedikit menyerempet ke cerita Lukmanul Hakim, dari berbagai catatan yang pernah saya baca (dan memang saya gemari dari kecil), Lukmanul Hakim nyaris tidak pernah lepas dari anaknya. Membaca buah hatinya ke banyak tempat dengan berbagai kegiatan yang ia lakukan sebagai seorang dewasa. Dari sana, Lukman menanamkan nilai edukasi kepada darah dagingnya. Dan, ada kemiripan yang saya lihat dari pola asuh yang diterapkan lelaki yang populer di Kompasiana dengan panggilan Srondol itu. Yang kontras perbedaannya adalah Srondol memang identik dengan banyol. Sampai, dalam beberapa tulisan humor saya yang mengangkatnya sebagai pemeran cerita sebagai Srondol bin Haji Botol. 2. Membangun Kedekatan. Ini merupakan sebuah pola yang tidak melulu harus merujuk pada berbagai teori-teori ilmu pendidikan, [caption id="attachment_167742" align="alignright" width="300" caption=""Halo Bapak??? Mas tegaskan, kelak Mas bisa jadi anak Bapak yang terbaik. Mas ingin banggakan Bapak. Dan mas tunjukkan, kalo mas bisa menjadi lelaki tangguh seperti mimpi bapak juga. Pokoe Mas gak mau kalah dengan Bapak. Tapi, kalau bisa, nanti sore, bapak jangan bawa pulang kerupuk. Tapi Ensiklopedi dari 5 benua! Dalam pengetahuan, Mas gak mau kalah dengan Bapak. Camkan itu! (Lho?)" (Model: Pandu Padmogani Zakat. Gbr: Hazmi Srondol) "][/caption] paedagogy atau apapun istilah yang berhubungan dengannya. Karena hal itu bisa dilakukan ketika kepekaan hati sebagai orang tua dipergunakan secara maksimal. Dan ini saya simak dari beberapa tulisan dan interaksi saya dengan lelaki yang memiliki nama asli Hazmi Fitriyasa tersebut. Betapa, terkadang pria ini lebih suka mendahulukan kepentingan anaknya ketika berbenturan dengan kepentingannya sebagai pribadi--diluar tuntutan kerja tentunya yang merupakan penyambung nyawa keluarga juga--. Bahkan, ketika ia baru pulang dari luar negeri, dan ada tugas rutin yang sifatnya sangat rahasia sebagai lelaki yang sudah berumah-tangga dengan tenang bisa ditangguhkan. Sikap demikian ini mengingatkan saya pada sebuah konsep bahwa hanya orang tua yang sadar memiliki anak saja yang akan mampu mendahulukan anaknya daripada kepentingan pribadinya. Sikap dimaksud saya yakini bukan sebuah hal yang mudah. Sebab, untuk bisa demikian, saya termasuk yang tidak percaya bahwa intelektualitas kadar tinggi akan serta merta bisa begini. Sebab, terkadang penuhanan pada egoisme seringkali membuat siapa saja sulit menanggalkan perasaan superior, perasaan lebih. namun, "Tukang Banyol Kompasiana" tersebut bisa dengan sukses melakukannya. Saya percaya, pola seperti ini kelak akan memberi dampak yang cukup positif, tidak hanya membentuk kecerdasan anak dalam bersikap namun juga dalam kebijaksanaannya. [caption id="attachment_167748" align="alignleft" width="300" caption="Aku dari kecil sudah jatuh cinta dengan buku. Beda dengan bapakku yang waktu kecilnya malas baca, lho. (Model: Pandu Padmogani Zakat, Gbr: Hazmi)."][/caption] Selain itu, Bapak Thole --sebutan saya untuknya--, tak jarang mengajak juga anaknya ke berbagai tempat yang bersifat pendidikan, ke musium dan tempat-tempat wisata. Jika dari usianya yang masih balita itu, kedua anaknya sudah dibiasakan demikian, haqqul yaqin saja, kecintaan pada pengetahuan dan alam akan mempengaruhi pikiran dan jiwa anak-anak ini secara positif. 3. Buku. Sebagai seorang lelaki yang hidup di jaman modern. Masa yang penuh dengan kompetisi yang terkadang tidak manusiawi. Tentu menambah bekal pengetahuan terus menerus menjadi sebuah keharusan, atau jika tidak, bisa jadi akan tergerus oleh persaingan. Untuk tujuan dimaksud, pemilik selera humor tersebut tidak berkutat dengan buku-buku humor yang membantunya untuk mengasah kemampuan humor. Tetapi justru sekian banyak buku serius ternyata dimilikinya. Lemari yang lumayan besar untuk ukuran rumah dengan penghuni sepasang suami istri dengan 2 anak, dikhususkan untuk buku-buku yang ia beli. Buku tersebut tidak hanya yang berhubungan dengan kepentingannya sebagai seorang dewasa, identik dengan serius-serius juga. Namun, juga buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan anaknya yang masih balita. Termasuk, National Geographic yang tentu memiliki isi dan efek edukatif. --------------------------- Tulisan edukasi yang terinspirasi seorang sahabat: Hazmi 'Srondol' Fitriyasa: Banyak inspirasi yang saya dapat dari figur Kompasianer tersebut. Yang saya tulis adalah bahagian kecilnya saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun