Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan dari Jakarta: Tulislah!

11 Juli 2010   02:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_190762" align="alignleft" width="300" caption="Dari kiri ke kanan: Hazmi Fitriyasa aka Srondol, Zulfikar Akbar, Engkong Ragile. Yang bersarung baru selesai sunat, sedang yang bercelana gombrong baru sembuh sunat (Dok: Hazmi Srondol)"][/caption] Satu hal yang paling mahal dan itu juga menjadi penentu sebuah tulisan itu menarik untuk dibaca atau tidak sangat bergantung dari orisinilitas, dan sisi yang tidak hanya melulu mengikuti mainstream yang jamak diikuti orang. Kesimpulan demikian saya temukan saat berkunjung ke rumah berukuran 5x8 meter yang dihuni salah satu 'dedengkot' Kompasiana. Rumah lelaki yang lebih suka disebut lajang dan kerap disapa dengan Engkong di Rumah Sehat ini. Berkisar 6 jam saya duduk bersama lelaki setengah abad ini. Tidak sia-sia, dalam obral obrol sambil lepas kangen dengan figur inspiratif ini, saya menemukan banyak sekali prinsip dan nilai yang bisa dijadikan bahan inspirasi. Tema obrolan yang sering diangkat tidak jauh-jauh dari dunia menulis. Dari rencananya agar bisa menciptakan satu upaya plus sampai pada seperti apa kondisi Kompasiana akhir-akhir ini. Dari Engkong Ragile,"Saya sangat suka dengan temen-teman Kompasiana yang sejauh ini masih bisa bertahan dengan keasliannya. Mereka bisa menulis 'pure' sebagai idenya. Sebuah tulisan akan sangat tidak menarik ketika yang menulisnya malah lebih banyak meng-copy paste wejangan, ungkapan-ungkapan bijak dari orang saja. Pikirannya sendiri sering diabaikan." "Tetapi dari sekian banyak penulis Kompasiana, saya tertarik dengan beberapa penulis yang masih bisa menunjukkan karakternya. Penulis yang masih murni menuangkan ide-idenya, tidak hanya asal kutip, asal comot." Ujarnya dengan gurat wajah sangat serius kendati dalam keseharian sosok penyuka sufistik ini lebih menggemari berhumor. "Sekarang, memang benar, bahwa untuk menulis, kalau dengan cara asal comot seperti itu, saya kira anak-anak yang baru bisa membaca juga bisa melakukannya. Nah, sekarang yang penting itu kita idealnya menggali kembali semua yang kita pikirkan dan yang menarik perhatian, show it! Itu akan lebih mampu memberi pengaruh. Bagi saya, terkait selera membaca, saya bisa membaca milik siapa saja. Tidak penting dia siapa, tetapi saya lebih suka melihat apa yang ia tulis. Soal, berbeda pendapat jelas saja kepala juga sudah berbeda. So, beda pendapat itu tidak menjadi sebuah persoalan besar. Saya pribadi, walaupun sering berbenturan ide dengan beberapa penulis, tetapi ketika memang mereka menulis dengan bagus, saya tetap akan akui ia memang menulis dengan bagus." Tukas bapak 2 anak ini. Menarik sekali mendapatkan rekan yang suka bicara blak-blakan ini,"Saya sangat menekankan sekali pada kejujuran. Kejujuran dalam menulis itu jauh lebih penting, bahkan kalau dibandingkan dengan sekadar menabur bahasa-bahasa indah. Dengan kejujuran seorang penulis itu juga akan membuat sebuah tulisan terasa lebih dekat dengan kita yang membaca." Komentarnya. Acara obral obrol itu sempat harus break saat kami kedatangan tamu seorang lagi. Sosok yang terlihat awet muda kendati juga sudah beranak 2, Hazmi 'Srondol'. Saat kedatangan rekan yang bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi itu, tema pertemuan berganti sebentar seputar hal-hal yang agak bau pribadi. Salah satunya tak ketinggalan,"Brad (panggilanya untuk saya), memang sebaiknya cepat-cepat nikah." Ketawa-ketawa beberapa jenak, tetapi kemudian kembali larut dalam obrolan yang memang tidak jauh-jauh dari dunia kepenulisan. Hazmi yang lebih menyukai spesifikasi humor ini mengaku lebih banyak mendapatkan ilham dari mengamati dan menyimak semua yang dekat dengannya, bahkan juga dari jalan-jalan sering dijadikan sebagai bahan tulisan. Hanya saja, spesifik terkait Hazmi, ia mengaku sudah sudah jatuh cinta dengan style penulisan yang berbungkus guyon. Ia juga sempat berujar,"Dalam keseharian, kita melulu serius terus, ya sesekali izinkan diri juga dong untuk tertawa. Cuma ya, kita usahakan kendati dalam humor tetap diusahakan ada manfaat yang bisa diperoleh oleh pembaca." Demikian pandangan dari Bapae Thole yang bernama asli Hazmi Fitriyasa ini. Selesai shalat Ashar, serentak keluar dan pamit ke empunya rumah dan saya sendiri sempat dihadiahi kado berupa buku yang sangat menginspirasi dari Engkong Ragile (sebutan saya untuknya): The Leadership Secrets of Genghis Khas. Saya dengan rekan kecil yang bernama mirip saya juga, Dzulfikar  Arman Purnama, kembali membelah jalanan Jakarta untuk pulang kembali ke Cibubur. Di sini saya menginap di rumah seorang ibu yang berhati malaikat, Devi Purnama, staf REUTERS Jakarta. Seorang ibu yang begitu berbaik hati mengakomodasi saya selama 2 hari berjalan-jalan kitari Jakarta sampai bisa bertemu dan bicara banyak dengan 2 sahabat inspirasional, Engkong Ragile dan Hazmi Srondol. Dan, bisa menuliskan tulisan ini untuk Anda! Semoga menginspirasi. Jakarta, 10 Juli 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun