Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Butir Keringat Perempuan di Semak-semak

31 Juli 2010   02:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:26 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jangan sebut mereka sebagai sang betina, kendati mungkin mereka siang ini terpaksa sembunyikan diri di balik semak-semak. Karena rendahnya dedaunan semak belukar tidak serta merta menjadi penegas bahwa mereka pun akan abadi dalam kerendahan.

[caption id="attachment_211125" align="alignleft" width="300" caption="Mereka melakukan itu dengan terpaksa. JIka bisa, keluarkan mereka dari sana (Gbr: Googleimages)"][/caption] Menyambangi diskotik yang terasa pengap dengan penerangan yang membuat mataku seperti kehilangan kemampuan melihat. Padahal diskotik ini berada di satu ruang di hotel berbintang, bukan diskotik tak berkelas. Berada di salah satu sudut kota Medan. Duduk di salah satu meja paling sudut, dengan seorang rekan yang hampir lupa membuka pecinya selepas shalat. Sesekali, meski mencoba untuk tidak menikmati, tetapi tetap melihat seorang gadis yang kukira belum berusia 17, jejingkrak berdansa yang terkadang justru erotis. Saat-saat seperti itu, sepertinya layak juga kalau dituduhkan bahwa aku sedang lupa menyebut nama-Nya. Kendati dalam hati, tetap juga bicara dengan-Nya,"Dengan tinta apa kau menulis nasib mereka, Tuhan?" Sampai seorang perempuan bertubuh agak tambun mulai duduk sedikit bersisian denganku. Seiring sebuah SMS masuk ke seluler monochrome-ku, memberi petunjuk bahwa sosok perempuan yang sedang begitu dekat denganku adalah "mami" atau sebutan untuk mucikari. Ouh, it aint I need. Tetapi malah tercenung, kenapa cara Tuhan menjawab sebuah tanya begitu berbeda. Tidak seperti yang sempat kulamunkan beberapa jenak lalu, bahwa Ia akan bicara dengan kalimat yang lebih indah dari puisi. Tetapi kemudian entah siapa yang telusupkan yakin, bahwa Tuhan bicara tidak hanya dengan kata-kata karena memang seperti yang pernah kuyakini bahwa pembicaraan tidak melulu harus pergunakan aksara. Dari mucikari yang kusapa dengan santun dengan panggilan 'mbak' tersebut, selanjutnya sudah menjelaskan, "Itu yang lagi nyanyi masih SMP...tuh, dia nyanyi untuk...biar pengunjung yang inginkan dia bisa lebih kenal dengannya" "Tapi kok sudah bekerja di klub malam seperti ini? Orang tuanya tidak tahu? Atau, dia bekerja di luar izin orang tuanya?" "Mas...uang itu jauh lebih penting dari sekadar harga diri seorang orang tua lho...bapak dan ibunya juga tahu anaknya kerja sebagai apa. Tapi ya...harus bagaimana lagi. Merengek-rengek ke tetangga untuk mendapat bantuan untuk sekilo beras saja sulit. So, gak ada yang harus diherankan kalau gadis itu harus kerja di klub malam seperti ini." Jawab si perempuan tambun sambil kepulkan asap rokok menthol yang bertempat di antara telunjuk dan jari tengahnya. "Mas mau pake...?" Sedikit agak membingungkanku, karena pertanyaan itu benar-benar berada di luar dugaanku. Tetapi kemudian, aku cepat mafhum apa yang dimaksudkan. Namun, tidak saya berikan jawaban apa-apa selain saya jelaskan siapa diriku dan teman yang berada di sampingku ini adalah seorang khatib, seorang agamawan yang sering berkhutbah di mesjid-mesjid. "Kok bisa berada di sini ya?" Tanyanya dengan gurat wajah yang terlihat samar tetapi masih bisa [caption id="attachment_211131" align="alignright" width="196" caption="Seorang lelaki belum bisa dikatakan baik ketika ia belum bisa menghargai perempuan (Model: Erika Sawajiri. Sumber gambar: Googleimages)"][/caption] perlihatkan kecanggunangan. "Saya yang ajak. Dengan begini, teman saya ini tidak hanya melihat soal masyarakat hanya dari cerita orang saja, Mbak..." Aku membuka penjelasan, sambil menatap perempuan ini matikan api rokoknya. Terlihat ia seperti menghormati saya dengan rekan ini yang memilih sebagai pendengar saja. Padahal rokok menthol itu baru 2 atau 3 kali ia hisap, selebihnya tadi lebih banyak didiamkan karena larut dengan obrolan dengan lelaki yang sudah pasti tidak membawa kemungkinan memberikan laba apa-apa untuknya dengan memakai jasanya mencarikan gadis yang kerap jadi incaran lelaki mata keranjang. "Tapi tidak perlu sungkan, kami perlu untuk melihat ini dari dekat kok Mbak. Saya sendiri cuma trenyuh saja melihat anak seusia SMP itu harus menjadi mangsa..." Selebihnya saya tidak bisa bicara banyak, malah memilih untuk bergegas keluar. (ZA) ---------------------------- Semoga bagi sahabat yang tidak keberatan, akan sangat saya hargai kesediaan untuk memberi VOTING di 2 tulisan berikut: * http://lomba.kompasiana.com/group/ib-1000-tulisan/2010/07/29/menulis-untuk-akar-rumput/ * http://lomba.kompasiana.com/group/ib-1000-tulisan/2010/07/29/kompasiana-jembatan-rakyat-dan-pemerintah/ Note: Silahkan Join bagi sahabat-sahabat yang menyukai tulisan saya di sini: http://www.facebook.com/penalelaki

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun