Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Berharap Amien Rais Kembali Jadi Guru Bangsa

26 Mei 2019   00:05 Diperbarui: 26 Mei 2019   00:10 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masih pantaskah Amien Rais disebut guru bangsa? Ini kini telah menjadi pertanyaan publik - Foto: Johan Tallo/Liputan6.com

Media-media memang masih rajin meliput apa saja pendapat dan pandangannya atas berbagai persoalan. Namun hampir dapat dipastikan, terutama dalam lima tahun terakhir, pendapat dan pandangannya cenderung beraroma kebencian dan kemarahan.

Kata-kata yang acap ia munculkan tidak lagi mencerminkan kata-kata yang pantas keluar dari mulut seorang guru bangsa. Alih-alih mengapresiasi perubahan-perubahan positif yang belakangan muncul di Tanah Air, ia lebih banyak mencibir apa saja yang sudah dikerjakan oleh anak-anak bangsanya.

Tahun lalu, misalnya, ia juga sudah mengundang kehebohan ketika ia menuduh langkah pemerintah sebagai kebijakan yang membohongi publik.

Tak berhenti di situ, ia pun melempar pandangan yang membenturkan anak bangsanya, seperti kategorisasi semacam hizbullah (tentara Allah) dengan hizbusy-syaithan (tentara setan). 

Ia menuding partai-partai besar sebagai partai setan, dan menurutnya, yang lebih baik adalah berada di partai besar lainnya, yakni partai Allah. "Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan," katanya, mendefinisikan mana yang ia maksudkan sebagai partai Allah. 

Tak pelak, partai-partai yang berada di lingkarannya seperti PAN, Gerindra, PKS, dikategorikannya sebagai partai Allah, dan lainnya dicap sebagai partai setan. 

Tak berhenti di situ, belakangan pun ia kembali menggulirkan narasi-narasi semacam people power, yang lagi-lagi memantik gonjang-ganjing hingga betul-betul mengalir ke dalam aksi menjurus pada tindakan-tindakan anarkis. Aksi 22 Mei 2019 dapat dikatakan sebagai buah dari narasi people power yang ia lemparkan.

Maka itu tak berlebihan jika intelektual seperti Indria Samego dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) justru menilai pandangan Amien Rais, terutama terkait people power, cenderung sia-sia. 

Sebab, menurut Indria, langkah itu baru dapat dibenarkan jika ada rezim yang memang terbukti memerintah dengan cara-cara otoriter. Sementara sekarang, peneliti LIPI tersebut menilai tidak ada bukti kuat adanya pemerintahan otoriter.

Apalagi di Asia, sejak runtuhnya kekuasaan Ferdinand Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia, tidak ada gelagat adanya pemerintahan otoriter. Terlebih di Indonesia, saat ini terbilang segalanya telah lebih terbuka, dan demokrasi pun dapat dikatakan lebih hidup.

Dari mana bisa mengatakan begitu? Sebut saja aksi terkait dengan Pilpres 2019 saja, pemerintah membiarkan aksi tersebut berjalan. Pengamanan yang dilakukan pun jauh berbeda dibandingkan demonstrasi di masa lalu. Aparat keamanan bahkan tidak dibenarkan untuk membawa peluru tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun