Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuntut Keadilan tapi Pamer Ketidakadilan, Kok Bisa?

25 Mei 2019   20:31 Diperbarui: 25 Mei 2019   21:15 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keadilan tidak bisa dituntut dengan memamerkan ketidakadilan - Foto: Twitter @Usup_usop (Yusuf Mustakkim)

Tak pelak, di sinilah kita pantas menegaskan bahwa kita layak merindukan sebuah kondisi di mana mereka yang berpolitik dapat menunjukkan kedewasaannya. 

Artinya, jangan sampai mereka cuma lincah berbicara tentang keadilan, namun keadilan hanya dipersepsikan semata-mata kewajiban pemerintah terhadap rakyat. Sementara, sesama rakyat, yang berada di luar pemerintahan pun saling memamerkan sikap tidak adil.

Lihat saja bagaimana efek kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei ini. Masyarakat biasa yang mencari nafkah di sekitar area aksi yang katanya menuntut keadilan, justru jadi korban ketidakadilan. Warung-warung mereka jadi sasaran aksi penjarahan. Sementara pelaku penjarahan masih saja dipuja-puji dengan narasi berbau agama; bahwa mereka adalah pahlawan, mereka pejuang, dan bahkan mereka sebagai mujahid.

Keadilan memang jadi kewajiban pemerintah. Namun keadilan pun semestinya juga menjadi kewajiban siapa saja. Sebab, mereka yang hari ini memerintah adalah mereka yang juga lahir dari rahim rakyat. Jika saat berstatus sebagai rakyat biasa sudah tidak terbiasa adil kepada sesama rakyat, maka mustahil dapat mengimpikan sebuah pemerintahan yang adil.

Sikap yang memamerkan bahwa satu pihak lebih berhak berbicara daripada pihak lain, dan satu pihak boleh leluasa memfitnah namun pihak lain tidak diperkenankan melawan fitnah,  pun adalah ketidakadilan.

Jadi, jika riuh-riuh yang selama ini terjadi karena alasan ketidakadilan, saya pikir butuh kejujuran lagi untuk melihat ke dalam diri sendiri dan kalangan sendiri; seberapa adilkah kita? Bukan sekadar, seberapa adilkah mereka? Terlebih, sebagai satu bangsa, terlepas adanya kubu-kubuan politik, sebenarnya yang eksis adalah kita. Jika negeri ini baik, maka kebaikan itu jadi milik kita. Jika negara ini hancur, maka itu adalah kehancuran kita.

Maka itu, saat ada tokoh-tokoh dari kalangan manapun terlalu gemar meniup narasi kebencian dan kemarahan yang menjurus pada ajakan untuk menghancurkan, maka melawan mereka adalah sikap kita. Ya, kita yang menginginkan negeri ini lebih dipenuhi hawa kebaikan, karena yang di atas punya komitmen menunjukkan keteladanan, dan yang di bawah pun saling berbagai kebaikan walaupun sekadar pesan-pesan baik. Semoga.*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun