Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuntut Keadilan tapi Pamer Ketidakadilan, Kok Bisa?

25 Mei 2019   20:31 Diperbarui: 25 Mei 2019   21:15 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keadilan tidak bisa dituntut dengan memamerkan ketidakadilan - Foto: Twitter @Usup_usop (Yusuf Mustakkim)

Tanggal 22 Mei lalu, dari Aceh, ibu saya menelepon dengan suara mengisyaratkan kecemasan, tepatnya ketakutan. Ia mendengar rumor bahwa orang-orang akan saling bunuh. Keributan besar akan terjadi di Jakarta gara-gara salah satu calon presiden menolak hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Siapa yang memberitahunya bahwa Jakarta akan mengalami keributan besar? Tak lain adalah kalangan muda yang gemar berbagi video dan pernyataan tokoh-tokoh yang dianggap paling berpengaruh di Jakarta. Mereka menunjukkan video yang bernada ancaman potensi keributan itu, dan seorang ibu yang berusia lanjut dan sakit-sakitan, tentu saja tertekan berat karena anaknya berada di Jakarta, dan ia tahu aktif dalam kegiatan beraroma politik.

Apa yang terbayang di benaknya, jangan-jangan anaknya pun akan menjadi korban dari keributan besar, yang dipropagandakan, akan terjadi di Jakarta. 

Apakah itu berlebihan? Sekilas, mungkin saja begitu. Di sisi lain, kecemasan itu juga masuk akal, mengingat tokoh-tokoh nasional tak sedikit yang terlibat dalam permainan propaganda, bahwa mereka akan habis-habisan untuk menolak hasil Pilpres. Mereka pun sudah sering menyuarakan narasi-narasi beraroma jihad. 

Sementara jihad itu sendiri, belakangan cenderung dikampanyekan sebagai sesuatu yang beraroma darah dan kematian. Belum lagi ada beberapa masyarakat awam yang memamerkan video-video yang berisikan ancaman, seraya memamerkan senjata tajam. 

Bahkan Joko Widodo yang notabene sebagai petahana pun menjadi sasaran ancaman pembunuhan terang-terangan.

Apa yang muncul di benak masyarakat yang jauh dari Jakarta, seperti kasus ibu saya sendiri, adalah kegentingan sedang melanda Jakarta seolah benar-benar ada.

Saya pikir, kecemasan hingga ketakutan itu bisa jadi tidak hanya menimpa ibu saya, melainkan juga melanda banyak kaum ibu dan keluarga lainnya. Tentu saja, ini merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

Terlebih lagi berbagai media, terutama televisi yang notabene lebih akrab dengan masyarakat umumnya, sangat rajin memberikan ruang untuk para tokoh melemparkan narasi berhawa panas. Jadilah, hawa itu menebar dan menyebar ke berbagai daerah. Ketakutan pun menyebar ke mana-mana. 

Tentu saja, ini adalah pemandangan yang sangat pantas disesalkan. Pesta demokrasi yang semestinya menjadi kegembiraan, akhirnya jadi terkesan sebagai pemicu ketakutan.

Namun yang lebih disesalkan lagi adalah tokoh-tokoh seperti Amien Rais, misalnya, yang sudah terkenal sebagai "tokoh bangsa" dan pernah dihormati sebagai "guru bangsa" justru terkesan sebagai figur yang paling getol menebar narasi panas tersebut. Dari isu people power yang juga terpicu oleh ucapannya, hingga kedaulatan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun