Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kompasianival, Pesta Mereka Pahlawan Literasi Nusantara

20 Oktober 2017   21:43 Diperbarui: 21 Oktober 2017   09:53 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianival menyatukan pecinta literasi - dok: Pribadi

Biasanya, hanya acara partai politik yang getol mengadakan acara tertentu dan dihadiri perwakilan dari berbagai daerah. Di luar itu, ada Kompasianival yang bebas dari kepentingan politik, namun juga mampu mendatangkan pengunjung dari berbagai daerah di Nusantara.

Itu bukan kata pengurus Kompasiana. Melainkan, itulah yang saya saksikan, setidaknya dalam delapan tahun terakhir, meski nama "Kompasianival" sendiri baru muncul belakangan.

Apa pun namanya, di ajang inilah saban tahun saya bisa menyaksikan banyak penulis Kompasiana dari berbagai daerah, berbagai latar belakang sosial, dan bermacam-macam profesi.

Hanya di awal-awal saja yang sedikit beraroma "Javasentris", beraroma Jakarta, namun belakangan makin meng-Indonesia.

Bayangkan, bagaimana animo mereka yang datang, merogoh kocek sendiri untuk dapat menghadiri acara tersebut. Meskipun mereka menyadari, selain harus mengeluarkan uang untuk transportasi, penginapan, juga untuk berbagai keperluan di Jakarta yang selama ini memang menjadi satu-satunya tempat acara itu diadakan.

Dari Aceh hingga Papua akan dengan mudah Anda temukan di acara tersebut. Satu sisi mengherankan, apa yang membuat mereka rela bersusah payah dan mengeluarkan uang untuk itu?

Silaturahmi. Terlepas perbedaan agama, suku, dan latar belakang daerah, di sana para pecinta dunia kepenulisan membaur. Di sana mereka menguatkan jejaring. Di situ juga mereka menunjukkan, seperti inilah Indonesia; bahwa perbedaan bukan hal yang harus dimusuhi, tapi dari perbedaan itu justru dapat melahirkan kekuatan.

Kekuatan apa yang mereka bangun? Ini adalah pertanyaan yang pantas diketengahkan, terlebih ketika politik acap melahirkan berbagai gonjang-ganjing, di sini mereka membangun kekuatan untuk menjaga tradisi diskusi, tradisi persaudaraan, hingga tradisi literasi yang telah menjadi napas mereka.

Ya, seluruh peserta Kompasianival itu adalah mereka yang memiliki minat yang sama; membaca dan menulis. Tradisi ini sempat menjadi hal langka di negeri ini, sebab penulis acap harus berjibaku hanya untuk mendapatkan tempat di koran-koran.

Di zaman media arus utama seperti koran menjadi satu-satunya "destinasi" para penulis--di luar dunia perbukuan--literasi acap menjadi masalah dalam hal peluang berkembang. Koran menjadi berhala, dan tak sedikit yang memilih mundur teratur, alih-alih mengasahnya, justru banyak calon penulis "mati muda".

Ya, di era itu, banyak yang memilih berhenti menekuni dunia kepenulisan. Bahkan aktivitas itu sempat terkesan hanya milik akademisi, pemuka masyarakat, dan para pewarta saja. Kehadiran dunia blogging, lalu lahir Kompasiana mendekati pengujung dekade pertama 2000-an, menawarkan keran lebih lebar untuk calon penulis hingga penulis profesional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun