Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah Penghina Istri Presiden Tertangkap

13 September 2017   01:52 Diperbarui: 13 September 2017   15:16 6849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku penghinaan istri Presiden RI diapit aparat kepolisian (tribunnews.com)

Fenomena ini juga yang memang ratusan tahun silam menjadi kritikan dari para penganut Teori Kritis, seperti Sigmund Freud hingga Karl Marx, yang bahkan memvonis bahwa "ideologi"--terlepas di beberapa sisi menguntungkan dan membangun--namun di sisi lain juga menjadi persoalan jika dikaitkan dengan cita-cita besar bernama pembebasan (baca: Geus, R. The Idea of a Critical Theory, Cambridge University Press). 

Apa hubungan kritik dari "nabinya para filsuf modern" tersebut dengan kondisi kekinian? Ya, lantaran faktanya agama pun acap dijadikan senjata untuk membuat akal yang semestinya bisa melihat segala sesuatu lebih jernih melebihi beningnya mata, justru kabur. Alih-alih membawa perubahan positif untuk masyarakat banyak, tapi justru menghancurkan diri sendiri tanpa membawa manfaat apa-apa. 

Keterkungkungan pikiran membuat hal-hal yang merugikan dan merusak justru dipandang sebagai sebuah cara pengabdian kepada agama, kepada Tuhan. Tak terkecuali dalam "kasus remeh"--menurut sekelompok masyarakat yang antipati kepada pemerintah--penghinaan istri presiden, mereka melihatnya bukan sebagai persoalan, bukan sebuah masalah. Ini justru sebuah "kebenaran" yang mesti diperjuangkan dengan keberanian penuh, yang harus siap hingga "mewakafkan" nyawa demi agama.

Tak hanya terjadi atas mereka yang antipemerintah, tapi juga yang propemerintah pun dapat terjebak ke dalam keyakinan membabibuta seperti itu. Sepanjang segala sesuatu dipandang memiliki keterkaitan dengan pihak yang dibenci, maka mereka pantas dibenci, hingga dinista. Sialnya, di tengah maraknya media sosial, mana rujukan yang pantas untuk menjadi "model" sebuah sikap bermedia sosial pun menjadi samar.

Para pengguna media sosial yang memiliki kecenderungan politik tertentu, terseret ke sana, dan bahkan membiarkan sudut pandang hingga sikap mereka hanya mengikuti ke mana lingkungan mereka lebih berkiblat. Seperti kasus anyar tersebut, ada berbagai petunjuk yang menyebut ia berada di sebuah organisasi yang telah dilarang pemerintah, yang juga dipenuhi kalangan yang antipemerintah, sehingga sudut pandangnya pun hanya mengikuti kecenderungan di sekelilingnya.

Apakah oknum tersebut dapat melihat penghinaan yang dilakukannya itu sedikit lebih sederhana? Misal saja, ia dapat lebih peka untuk menyadari bahwa yang dihina olehnya bukan soal istri presiden, tapi ini adalah seorang perempuan, seorang ibu bagi anak-anaknya. Namun karena kecenderungan berada di lingkungan yang melihat "perlawanan" kepada pemerintah sebagai sikap heroik, maka mereka abai melihat itu lebih jernih, hingga tak dapat bersikap jernih ketika mungkin mereka memiliki niat untuk memberikan kritik.

Padahal, jika sekadar melempar kritikan kepada pemerintahan, ya monggo,namun jika kritik dengan penghinaan saja belum mampu ditafsirkan dengan baik, bagaimana bisa berharap memberikan kritik dengan baik? Sekali lagi, inilah yang masih bias, dan sialnya lagi keinginan melempar sumpah serapah terkesan jauh lebih diminati sementara pengguna media sosial. Mungkin saja, ini juga kebiasaan kita.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun