"Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dicemari, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang" penulis kelahiran Amerika Serikat.
Kalimat diatas menyadarkan kita betapa pentingnya lingkungan yang terpelihara dan terjaga. Dalil ekonomi dan kesejahteraan kadang membuat hutan yang rimbun membuat semakin tak terliha. Ketamakan manusia dalam sekejap bisa menjadikan hutan lebat semakin tak terlihat.
Pentingnya konservasi lingkungan sebagai pijakan pembangunan yang menjadi gagasan besar Gubernur Jawa Barat terpilih Kang Dedi Mulyadi (KDM) merupakan langkah strategis nyata untuk menjaga ekosistem lingkungan dan ekosistem alam.
Jawa Barat menempati peringkat ketiga menempati peringkat ketiga dengan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) terendah, dengan nilai 64,66 poin. Nilai ini lebih rendah 7,76 poin dibandingkan nilai IKLH yang ditetapkan oleh Standar Nasional.
Kerusakan lingkungan di Jawa Barat yang paling dominan tentu disebabkan oleh pertambangan. Bahkan, data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat mencatat, terdapat 176 perusahaan tambang di Jawa Barat ilegal atau tidak berizin sepanjang 2024.
Kemudian, selain pertambangan, sektor sampah juga menjadi Masalah untuk masyarakat perkotaan dan penyangga kota menjadi problem. Maka tidak heran apabila AQI (Air Quality Index) Indeks Kualitas Udara sering menempatkan kualitas udara di beberapa kota di Jawa Barat predikat kualitas udara tidak baik untuk kesehatan.
Kerusakan lingkungan yang masif apabila tidak diantisipasi secara serius, akan berdampak besar. Bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur, dampak itu juga berakibat kepada ekosistem alam, dan kultur sosial.
Dampak tersebut berpotensi dengan menurunnya kualitas air bisa, cadangan pangan menurun, ekosistem hayati dan dampak lainnya. Resiko bencana juga meningkat. Seperti banjir, tanah longsor saat musim hujan, penyakit ISPA, dan kekeringan pada saat musim kemarau.
Dampak sosial akibat penambangan tersebut nyatanya rakyat ah yang paling sering menjadi korban. Mereka bisa miskin dan sengsara akibat daerahnya menjadi area pertambangan.
Kerusakan lingkungan yang terjadi justru ebih besar dari pada hasil tambang yang masuk ke pemerintah sebagai royalti. Bahkan bukan tidak mungkin, biaya untuk memperbaiki kerusakan tersebut bisa jauh lebih besar.