Mohon tunggu...
Nurman Samehuni Gea
Nurman Samehuni Gea Mohon Tunggu... Sebagai Mahasiswa di universitas Nias dan penulis blog

Hobi : Menulis, Membaca, Bersepeda, berlari

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Politik Lokal dan Neopatrimonialisme dalam Koperasi Merah Putih

1 Juni 2025   01:05 Diperbarui: 1 Juni 2025   01:05 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Koperasi Merah Putih diluncurkan dengan semangat besar dalam membangkitkan ekonomi kerakyatan berbasis solidaritas dan kebangsaan. Dalam retorika pemerintah pusat, koperasi ini adalah upaya sistemik untuk memotong mata rantai ketergantungan masyarakat terhadap tengkulak, membangun ekosistem bisnis lokal, serta memperkuat posisi ekonomi rakyat di tengah gempuran kapitalisme global. Namun, di lapangan, realitas berkata lain.

Koperasi Merah Putih kini mulai menampakkan wajah yang berbeda. Alih-alih menjadi alat pemberdayaan, ia justru menjelma menjadi instrumen perebutan jabatan di tingkat lokal. Pemilihan pengurus bukan lagi soal kapabilitas atau visi membangun ekonomi kolektif, melainkan arena pertarungan antar kelompok, antar keluarga, bahkan antar saudara. Dalam banyak kasus, program yang idealistik ini berubah menjadi pemantik konflik horizontal karena dijalankan tanpa prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Jabatan pengurus koperasi di berbagai daerah saat ini memiliki nilai strategis yang tinggi. Di balik istilah "pengurus" tersimpan akses terhadap dana, proyek, koneksi dengan pihak eksternal, hingga peluang pekerjaan. Maka tidak mengherankan bila banyak pihak berlomba-lomba mendapatkan posisi dalam struktur Koperasi Merah Putih, meskipun harus mengorbankan nilai-nilai persaudaraan.

Fenomena ini memperlihatkan adanya penyimpangan serius dalam makna koperasi itu sendiri. Koperasi bukan lagi dipahami sebagai lembaga milik bersama yang dikelola secara demokratis, tetapi sebagai kendaraan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Musyawarah diganti dengan rekayasa. Transparansi diganti dengan skenario. Persaudaraan diganti dengan kompetisi tak sehat.

Konflik yang terjadi bukan semata administratif. Lebih dalam dari itu, yang rusak adalah modal sosial masyarakat desa, kepercayaan, solidaritas, dan hubungan kekeluargaan. Di banyak tempat, konflik pemilihan pengurus Koperasi Merah Putih telah menyebabkan keretakan hubungan antarwarga yang sebelumnya harmonis. Masyarakat terbelah dalam faksi-faksi politik lokal. Hubungan saudara menjadi renggang. Sahabat menjadi lawan. Tetangga menjadi musuh.

Di sini kita melihat bagaimana program ekonomi yang dijalankan tanpa kesadaran sosial justru melahirkan disintegrasi. Dalam teori pembangunan, ini dikenal sebagai paradoks partisipasi: semakin banyak program yang melibatkan masyarakat tanpa proses deliberatif yang adil, semakin besar potensi konflik yang muncul di tingkat akar rumput.

Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari struktur politik lokal yang masih kuat dipengaruhi oleh praktik neopatrimonialisme. Di mana kekuasaan tidak berjalan berdasarkan norma dan aturan institusional, tetapi berdasarkan relasi patron-klien, loyalitas keluarga, dan kedekatan pribadi. Kepala desa, tokoh adat, atau elite lokal sering kali menjadi "penentu tunggal" siapa yang pantas duduk di kursi pengurus koperasi. Proses pemilihan hanya dijadikan simbol demokrasi yang kosong.

Dengan masuknya program nasional seperti Koperasi Merah Putih ke dalam ruang lokal yang masih didominasi oleh oligarki mikro, maka program tersebut berisiko disandera oleh kekuasaan desa. Alokasi dana, proyek pelatihan, hingga distribusi hasil usaha koperasi bisa dimonopoli oleh kelompok kecil. Ini jelas bertentangan dengan prinsip utama koperasi, yaitu dari anggota, oleh anggota, untuk anggota.

Kita harus mengingat bahwa koperasi bukan hanya entitas ekonomi. Ia adalah pilar sosial. Ia dibangun atas dasar nilai-nilai luhur berupa kejujuran, solidaritas, persamaan hak, dan tanggung jawab bersama. Ketika prinsip ini dilanggar hanya demi jabatan atau uang, maka rusaklah fondasi sosial masyarakat.

Persaudaraan yang telah dibangun selama bertahun-tahun bisa luluh seketika hanya karena segelintir orang menghalalkan segala cara demi kekuasaan kecil. Maka kerugian koperasi bukan hanya dalam bentuk laporan keuangan yang tak sehat, tetapi dalam bentuk hubungan sosial yang koyak, konflik antarwarga, dan hancurnya kepercayaan publik terhadap sistem.

Program besar seperti Koperasi Merah Putih seharusnya menjadi tonggak baru dalam membangun ekonomi rakyat berbasis nilai-nilai kebangsaan. Namun bila ia dijalankan secara manipulatif, tidak transparan, dan elitis, maka yang kita bangun bukanlah kekuatan ekonomi, melainkan ladang konflik baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun