Mohon tunggu...
Samuel Asdianto Limbongan
Samuel Asdianto Limbongan Mohon Tunggu... Tentara - Magister

S2 Ketahanan Nasional UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tantangan dan Peluang Perkembangan Teknologi dalam Sinergitas Pengamanan Wilayah Perbatasan Indonesia

25 Juni 2020   16:13 Diperbarui: 25 Juni 2020   22:03 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Abstrak


Pesatnya perkembangan dan kemajuan teknologi global merupakan peluang yang harus diambil dalam berbagai tantangan yang dihadapi setiap negara. Salah satunya melalui upaya beradaptasi dengan berbagai teknologi yang diusung Revolusi Industri 4.0 yang dimanfaatkan dalam berbagai sendi kehidupan. Indonesia terus menghadapi berbagai tantangan dengan adanya dampak isu keamanan regional yang salah satu di antaranya terkait sinergitas pengamanan wilayah perbatasan yang belum optimal. Untuk menjawab tantangan tersebut, tulisan ini akan mengulas bagaimana tantangan dan peluang perkembangan teknologi khususnya revolusi industri 4.0 dalam sinergitas pengamanan wilayah perbatasan di Indonesia.


Kata kunci : sinergitas, pengamanan wilayah perbatasan, perkembangan teknologi

Pendahuluan 

            Menurut Stephen Covey sinergitas dapat dipahami sebagai komunikasi, koordinasi dan kerjasama antar unsur, elemen, instansi atau kementerian/lembaga untuk mendapatkan pencapaian hasil kegiatan yang lebih baik daripada jika dikerjakan sendiri. Setiap kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diperlukan sinergitas antara elemen dan unsur-unsur yang ada. Komitmen saling membantu antar instansi ini dalam menciptakan situasi yang kondusif melalui kerja sama, bermitra dan bersinergi dengan semua komponen bangsa lainnya. Setiap elemen, unsur dan instansi tidak dapat sendirian dalam melakukan pekerjaan terhadap jalannya kehidupan kemasyarakatan, melainkan memerlukan sinergitas dengan instansi lain untuk menciptakan situasi kondusif dalam rangka terwujudnya stabilitas keamanan.

           Kaitannya dengan stabilitas kemanan, berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 7 diuraikan tugas TNI dalam Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang salah satunya adalah tugas mengamankan wilayah perbatasan. Pengamanan wilayah perbatasan itu sendiri adalah segala usaha, pekerjaan, dan tindakan yang dilakukan secara terus menerus, untuk mengamankan, menjaga dari segala ancaman dan gangguan yang dapat mengganggu ataupun membahayakan wilayah perbatasan (Permenhan RI Nomor 4 Tahun 2017). Menurut sumber lain kegiatan pengamanan wilayah perbatasan ini dipahami sebagai segala usaha dan kegiatan untuk menjamin tegaknya kedaulatan wilayah negara di perbatasan darat, laut dan udara dengan negara lain, dari segala bentuk ancaman dan pelanggaran, termasuk kegiatan-kegiatan survei dan pemetaan. (Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/173/XII/2011).  Ketiga peraturan perundang-undangan inilah yang dijadikan sebagai dasar dan payung hukum bagi TNI sebagai alat pertahanan negara dalam pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan.

           Dalam pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan, TNI selalu berpedoman pada postur kekuatan dan rencana  strategis. Pembangunan kekuatan tersebut dapat dilaksanakan dengan pendekatan capability-based  planning. Perlu dimahami  bersama betapa sulitnya untuk meraih kekuatan pengamanan wilayah perbatasan  yang ideal. Namun, TNI tidak akan  menyerah dan akan terus berupaya untuk terus  mengambil peluang dari teknologi 4.0., agar siap  menghadapi berbagai ancaman disruptive. Kemampuan  yang harus dimiliki di era disruptive tersebut adalah  berupa gabungan dari berbagai unsur teknologi di antaranya:  teknologi pengindra (sensor), teknologi pemukul (shooter), dan  teknologi pendukung (support). Dengan memiliki ketiga unsur tersebut tentunya  belum cukup. Menyikapi perkembangan teknologi,  khususnya pada era informasi yang diperlukan sinergitas dan kolaboritas TNI dengan unsur dan instansi lain yang terkait telah  berinvestasi pada pengembangan tactical data link untuk  mewujudkan sinergi antara sensor, shooter, dan  support melalui konsep network-centric.  

           Namun dalam pelaksanaannya banyak permasalahan dan isu kompleks yang dihadapi sebagai tantangan tersendiri bagi TNI. Permasalahan tersebut pada umunya dilatarbelakangi dengan adanya keterbatasan sumber daya manusia dalam pemanfaatan teknologi yang terus berkembang dihadapkan dengan berbagai isu pelanggaran batas wilayah yang terus berdatangan dari negara tetangga beserta kompleksitas masalah sosio-ekonomi di perbatasan tersebut. Oleh karena itu tulisan ini akan mengulas bagaimana sinergitas antar instansi terkait dalam operasi pengamanan wilayah perbatasan yang terpadu dihadapkan pada tantangan dan peluang pemanfaatan perkembangan teknologi dan informasi yang berlatar belakang revolusi industri 4.0.

Permasalahan dan Isu Pengamanan Wilayah Perbatasan

            Luasnya wilayah Indonesia dengan kurang lebih 17,000 pulau dengan Total panjang garis pantai 99.093 km menjadi dasar permasalahan pokok dalam pengamanan wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan kondisi medan alam Indonesia sebagai kepulauan yang membutuhkan anggaran dan dana yang tidak sedikit untuk kegiatan pengamanan wilayah khusunya perbatasan baik darat, laut maupun udara dengan negara-negara tetangga. Permasalahan yang dapat ditemui yaitu adanya berbagai keterbatasan personil dan teknologi pada instansi yang terkait dengan pengamanan perbatasan seperti TNI, Pemda, Polri, kementerian/lembaga terkait dan unsur serta elemen masyarakat di wilayah perbatasan. Ketergantungan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimilki TNI dengan alat pendukung sensor yang masih didatangkan dari luar negeri juga dianggap sebagai masalah yang berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan anggaran perbatasan. Hal ini diperkuat dengan data sebagai berikut : keterbatasan coverage dari 20 radar yang dimiliki TNI (masih banyak blank spot area), dan keterbatasan jumlah alutsista (khususnya  pesawat), sehingga kekuatan tidak bisa digelar  secara proporsional sehingga mengakibatkan kemampuan patroli  udara dan penindakan terhadap pelanggaran wilayah  udara menjadi sangat terbatas. Kompleksitas dan koneksitas sistem komunikasi yang masih sangat minim serta belum terintegrasinya sistem data nasional menjadi kendala dalam upaya sinergitas dan kolaboritas instansi terkait dalam mengamankan perbatasan wilayah Indonesia. Sehingga perlunya real time big data resources dari field utama dalam sistem komando hingga unit kecil. Selain itu juga perlu adanya antisipasi terhadap alutsista negara tetangga yang jauh lebih berteknologi tinggi yang berbasis intelgensia buatan.

             Selain berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, juga diikuti dengan berbagai isu pengamanan wilayah perbatasan yang meliputi  : 1) pelanggaran wilayah darat, laut dan udara; 2) pelanggaran izin masuk/tinggal; 3) penyelundupan barang (smuggling);                  4) perdagangan manusia (human trafficking); 5) pencurian SDA hayati dan non hayati;        6) penyelundupan Narkoba; 7) penyelundupan satwa liar, hewan langka dan tanaman;          8) terorisme, perompakan, pembajakan; dan 9) masalah Sosio-ekonomi dan nasionalisme di antaranya penggunaan dua mata uang negara dan identitas kewarganegaraan ganda. Isu pelanggaran wilayah perbatasan didukung dengan adanya data pelanggaran khususnya perbatasan wilayah udara sebagai berikut : Pertama, ratusan pelanggaran di bekas Military Training Area (MTA-2) di wilayah barat Indonesia, di mana pada tahun 2017 ada                        5 pelanggaran, tahun 2018 terdapat 163 pelanggaran, tahun 2019 sebanyak 265 pelanggaran dan pada tahun 2020 (s.d. 29 Maret 2020) memiliki 453  pelanggaran;  Kedua, adanya ribuan pelanggaran udara di wilayah Papua  yang disebabkan banyaknya airstrip yang tidak  termonitor. Total airstrip di Papua sebanyak 362. Sekitar 200 diantaranya, belum mendapatkan  penjagaan/ pengawasan dari pihak berwenang. Pada tahun 2019 tercatat sebanyak 11.795 non-  scheduled flight dan tahun 2020 (s.d. 31 Maret 2020) tercatat  sebanyak 3.282 non-scheduled flight; dan Ketiga, penerbangan tanpa  dokumen  lengkap  (security/flight clearance). Contoh tiga yang  terakhir di tahun 2020 : pada 27 Februari 2020, pesawat sipil milik Amerika,  Gulfstream 550 dengan callsign N999HZ, rute:  Jepang-Seletar, tanpa flight clearance melintas  wilayah Indonesia (Natuna), mengaku mendapat  izin dari Singapura; kemudian pada 28 Februari 2020, pesawat sipil milik Amerika,  Boeing 777-200 dengan callsign N749BC, rute:  Singapura-Arizona, tanpa flight clearance  melintas wilayah Indonesia (Natuna); dan 1 Maret 2020, pesawat militer asing milik  Amerika Seikat, C-135, rute: Kadena-Doha, tanpa  flight clearance melintas wilayah Indonesia  (Natuna).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun