Di Denpasar, 11 atap penangkap mampu menghasilkan 1.783.350 liter per tahun. Sejumlah 879.624 liter digunakan untuk flushing toilet sehingga menutup defisit air domestik secara signifikan (Susanti et al., 2023). Simulasi di Palembang pada rumah dengan atap seluas 36--60 m menunjukkan efisiensi panen 46--62% dari potensi hujan, menggunakan pipa filter sederhana berdiameter 8 inci dan panjang 90 cm, dengan kapasitas 0,65 m per hari (Mulyadi et al., 2025).
Manfaat PAH tidak hanya terletak pada ketersediaan air. Di Jakarta Utara, penerapan PAH membantu mengurangi ketergantungan pada air tanah, yang berdampak pada perlambatan penurunan muka tanah---a masalah serius di kawasan pesisir (Putra et al., 2025). Di Pulau Bonetambung, Makassar, PAH dipertimbangkan sebagai sumber alternatif utama air bersih bagi masyarakat pulau kecil, dengan potensi besar mengurangi kerentanan terhadap musim kemarau (Iskandar et al., 2025).
Pendekatan inovatif juga mulai muncul. Model Communal-based Domestic Rainwater Harvesting (CDRWH) menggabungkan fasilitas rumah tangga dan komunitas untuk meningkatkan efisiensi, terutama di permukiman padat (Widodo & Santoso, 2025). Sistem ini memungkinkan pengelolaan air secara kolektif, menurunkan biaya per kapita, dan meningkatkan ketersediaan air di musim kemarau.
Manfaat yang tercatat dari berbagai studi mencakup kemandirian rumah tangga dalam penyediaan air, penghematan biaya PDAM, pengurangan penggunaan energi listrik untuk pompa, serta mitigasi dampak lingkungan seperti banjir, penurunan muka tanah, dan kekeringan (Puspitasari et al., 2021; Hidayat et al., 2022). PAH juga mendukung konsep green building dan water-sensitive urban design yang kini menjadi tren perencanaan kota berkelanjutan (Susanti et al., 2023).
Namun, tantangan tetap ada. Kualitas air hujan yang ditampung bisa menurun akibat kontaminan dari udara, material atap, atau bak penampungan. Oleh karena itu, praktik pembuangan "first flush" dan pemeliharaan kebersihan atap sangat penting.
Air yang ditampung perlu melalui proses filtrasi, misalnya dengan saringan pasir, filter keramik, atau teknologi UV sebelum digunakan untuk kebutuhan sensitif (Ardian et al., 2024). Variabilitas curah hujan di berbagai wilayah menuntut perencanaan kapasitas tangki yang tepat, agar pasokan tetap tersedia di musim kemarau (Mulyadi et al., 2025).
Kurangnya kesadaran publik juga menjadi penghambat utama. Meskipun biaya investasi rendah dan manfaatnya besar, banyak masyarakat yang belum familiar dengan konsep dan teknis PAH.
Edukasi publik, pelatihan teknis, dan kampanye melalui sekolah serta komunitas menjadi kunci peningkatan adopsi (Widodo & Santoso, 2025). Di sisi kebijakan, pemerintah daerah dapat mendorong PAH melalui insentif finansial, penyediaan desain standar, dan dukungan teknis gratis.
Langkah-langkah praktis yang direkomendasikan antara lain memastikan setiap sistem PAH dilengkapi filter dan disinfeksi, menghitung kapasitas tangki berdasarkan data curah hujan lokal, serta mempertimbangkan model komunal di kawasan padat. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengeksplorasi integrasi PAH dengan infrastruktur kota, sistem pengelolaan air hujan perkotaan, dan desain bangunan ramah lingkungan.
Dengan penerapan desain yang tepat, edukasi luas, dan dukungan kebijakan, setiap rumah tangga dapat menjadi produsen airnya sendiri: Merdeka Krisis Air Bersih. Inilah langkah menuju kemandirian sejati: merdeka dari krisis air bersih, sekaligus menjaga kelestarian sumber daya alam untuk generasi mendatang. ***