Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyelisik UU Cipta Kerja, Gelombang Penolakan dan Keberpihakannya pada Buruh

8 Oktober 2020   06:09 Diperbarui: 8 Oktober 2020   06:27 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapapun boleh curiga sekaligus waspada terhadap situasi yang terjadi saat ini. Pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Senin (5/10). Di mana keputusan tersebut telah disetujui tujuh dari sembilan fraksi. Mereka yang setuju, antara lain PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PPP dan yang menolak adalah fraksi Demokrat dan PKS.

Seperti kita ketahui proses pengesahan Omnibus Law ini diwarnai perdebatan, hingga menimbulkan ketegangan dan walk out. Lumrah jika kemudian hari mengundang reaksi keras. Dengan gelombang penolakan, berupa demonstrasi dari masyarakat sipil seperti mahasiswa, masyarakat adat, kelas pekerja, para guru, hingga tokoh agama.

Apapun itu, pihak pekerja/buruhlah yang paling terkena. Mereka sejak lama menganggap tidak adanya keadilan. Dampak berkurangnya kesejahteraan terkait terdegradasinya hak-haknya yang sebagian hilang. Sisi lain bargaining posisinya makin lemah di mata perusahaan.

Intinya, pengesahan undang-undang yang dianggapnya tergesa-gesa itu kurang memihak buruh. Wajar jika menjawab dengan gelombang demonstrasi di sejumlah daerah Indonesia. Mulai pelajar, mahasiswa dan buruh beramai-ramai turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap kehadiran undang-undang yang baru itu.

Menurut buruh, tanpa ada UU tersebut, kesulian-kesulitan sudah lama terasakan. Apalagi dalam situasi pandemi Covid-19, perusahaan dianggap sudah seenaknya melakukan pemutuskan hubungan kerja (PHK) dengan pesangon tak sesuai aturan. Dengan alasan perusahaan juga mengalami kesulitan akibat pandemi.

Mencermati keganjilan tersebut, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, langusng mengatakan ada tujuh (7) poin dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja/buruh. Poin-poin itu mulai dari jam kerja yang eksploitatif, penentuan besaran upah, hingga pengurangan nilai pesangon.

Adapun ketujuh poin yang ditolak tersebut adalah: Pertama, penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Menurut Said, UMK tidak perlu diberikan syarat karena nilai UMK yang ditetapkan di setiap kota/kabupaten berbeda-beda. Menurutnya, kalau diambil rata-rata secara nasional, justru UMK di Indonesia, jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam. Jadi tidak benar kata dia, jika dikatakan UMK Indonesia lebih mahal dibanding negara lain di Asia Tenggara.

Kedua, pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, yaitu 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, KSPI juga menolak soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Menurutnya, buruh menolak pasal yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.

Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup akan menjadi masalah serius bagi buruh. Karenanya Said mempertanyakan pihak yang akan membayar jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. Bahkan dikatakan, tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP.

Kelima, buruh menolak jam kerja yang eksploitatif. Keenam, buruh menolak penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Kata Said, dalam draf RUU Omnibus Law Ciptaker yang telah disepakati untuk dibawa ke Rapat Paripurna, cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan terancam hilang. Sebab, hak upahnya atas cuti tersebut hilang.

Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena ada kontrak seumur hidup. Melihat hal yang dinilai tidak adil inilah Said mengatakan 2 juta buruh akan melakukan mogok nasional di lingkungan perusahaan masing-masing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun