Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Menghentikan Budaya Mudah Terbawa Arus, Ikut-ikutan, Latah, dan Meniru?

10 Juli 2020   09:35 Diperbarui: 10 Juli 2020   09:35 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW


Kendati sejak Indonesia merdeka, puluhan menteri pendidikan, puluhan kurikulum pendidikan telah diciptakan, ternyata hingga kini, pendidikan di Negara Kesatuan Repubulik Indonesia (NKRI) tetap saja dianggap terpuruk dan belum berhasil. Padahal bila dikalkulasi, hasil dari pendidikan itu telah melahirkan manusia-manusia Indonesia bergelar pendidikan berbagai strata dan berbagai bidang.

Namun, biang keladi dari penyebab kegagalan pendidikan itu adalah, belum mampunya secara utuh, pendidikan di Indonesia melahirkan manusia berkarakter dan berbudi pekerti mulia seperti cita-cita luhur para pendiri bangsa yang diamanatkan dalam UUD 45 dan masih terpuruknya peringkat Indonesia dalam penilaian PISA, sejak Indonesia bergabung.

Data lain yang semakin dapat menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia "terpuruk selalu" adalah fakta yang saya kutip dari republika.co.id, Kamis (15/9/2016) yang menuliskan bahwa Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mencatat penduduk terdidik Indonesia, baik sekolah dasar dan menengah maupun perguruan tinggi, hanya 27 persen. Meski ini catatan di tahun 2016, dalam perkembangan hingga 2020, tentunya signifikasi kenaikannya tidak begitu sesuai harapan, dan bisa jadi belum menyentuh di angka 50 persen. Pertanyaannya, bila penduduk Indonesia 50 persennya saja terdidik, apakah ada garansi bahwa pendidikan di Indonesia akan dianggap meningkat sesuai amanah pendiri bangsa?

Ironisnya, di saat penduduk Indonesia yang terdidik masih sangat jauh dari harapan baik dari segi kuantitas dan kualitas, ternyata pengangguran terdidik di Indonesia masih tergolog tinggi. Bayangkan, ini cerita tentang pengangguran, tapi pengangguran tersidik.

Saya kutip dari lokadata.id (18/4/2020), atau baru dua bulan yang lalu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) diisi 79,5 persen lulusan SMA/SMK dan 20,4 persen lain adalah lulusan perguruan tinggi. 

Nah, bila berdasarkan fakta dan data tersebut, maka para elite partai politik yang hingga kini terus tampil atau mencari panggung baik di layar televisi maupun media massa, lalu bikin kisruh dan sandiwara politik yang terus menjadi tontonan dan masyarakat yang lebih banyak "tak terdidik" maka, sejatinya "mereka" telah menjadi penyebar pendidikan "kisruh" di Indonesia yang justru lebih mudah ditangkap dan ditiru, sehingga tanpa disadari, masyadakat Indonesia baik yang terdidik maupun yang tak terdidik (lebih banyak) justru menjadi kuat dalam "karakter kisruh dan berseteru".

Di saat bersamaan, juga banyak masyarakat yang sejatinya tak berpendidikan tinggi, namun terlanjur menjadi orang beken/artis/selebritis, maka saat mereka tampil dan ditampilkan di panggung baik layar kaca atau media, lebih ditonjolkan produk gaya hidupnya, bukan produk pendidikan karakternya dan budi pekerti yang mulia.

Setali tiga uang, seiring perkembangan zaman, budaya asing juga menyerbu Indonesia "tanpa batas" karena hadirnya berbagai "pintu masuk" yang tak lagi dapat dibendung seperti media sosial yang tak lagi terbatas dan menjangkau seluruh dunia.

Masyarakat pun latah, terbawa arus, ikut-ikutan dengan segala macam trend, budaya, hingga gaya hidup bangsa lain.

Rendahnya masyarakat yang masih belum terdidik, di tambah masyarakat terdidik yang masih terbatas, pun disangsikan kualitas hasil pendidikannya karena lebih banyak.yang hanya sekadar mengejar nilai demi naik kelas, lulus, dan meraih ijazah, maka semakin lengkaplah derita anak bangsa ini.

Terus menjadi masyarakat pemakai produk bangsa lain di berbagai hal. Tak kreatif dan tak inovatif terus menjadi perbincangan dan cerita klasik di negeri ini. 

Kini, lebih kentara, di saat pandemi corona melanda. Segala hal baik itu datangnya dari negara lain atau dari dalam negeri sendiri, ditiru mentah-mentah. Bila meniru hal yang positif dan menaikkan citra dan karakter bangsa, itu luar biasa. Tetapi kini yang terus terjadi adalah budaya latah dan ikut-ikutan. Berapa yang dapat diidentfikasi yang bahkan ramai tersiar di media massa dan televisi seperti ikut-ikutan mencari peluang menjadi youtuber, main Tik-Tok, menjadi pesepeda, koleksi mobil antik, koleksi barang mewah, pamer kehidupan mewah,  kegiatan webbiner/zoom di berbagai bidang meski bukan pakar dan ahlinya, membuka pelatihan ini dan itu, seperti kelas menulis yang ramai publikasinya di media sosial, dan pamer perseteruan di kolom komentar setiap artikel bukan saja yang berbau politik, unjuk gaya dan merasa hebat dalam sebuah diskusi atau bincang-bincang, saling hujat dan saling melaporkan,  dan lain sebagainya.

Semua itu, jauh dari tujuan mulia pendidikan di Indonesia yang cita-citanya membentuk manusia berkarakter, cerdas intelegensi dan personaliti, serta berbudi pekerti luhur.

Sebab yang berpendidikan presentasenya lebih rendah dari yang belum berpendidikan, dan yang berpendidikan terutama yang lulus dengan berkualitas, justru bukan menjadi teladan dan panutan, tapi malah memanfaatkan keadaan demi kepentingannya sendiri. Maka, beginilah Indonesia hingga detik ini.

Masyarakat masih hidup susah, tertinggal  pendidikan dan berbagai segi kehidupan, namun kontradiksinya, karena bekal pendidikan yang kurang itu, rakyat menjadi tak siap, sangat mudah terbawa arus, terbawa budaya negatif baik dari dalam maupun negara lain. Yang lebih parah, di saat ekomomi sulit, rakyat tetap terlihat konsumtif dan nampak tak mampu menentukan sikap, mana kebutuhan yang prioritas dan mana yang sekunder karena pengaruh budaya, terbawa arus, dan gaya hidup yang latah, ikut-ikutan, dan sekadar meniru. Jadi, bagaimana cara menghentikannya? Ayo...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun