Nah, pertanyaannya, mengapa orang-orang yang dipandang berbudi dan kental menggumuli sastra, maka sangat piawai menentukan indikator sebab/masalah yang dapat segara menjadi konflik dan akibat ini mengaplikasikannya dalam hal negatif? Benarkah, mereka orang berbudi akibat dari "nyastra?"Â
Wahai anak bangsa, sadar dan mengertilah, bahwa suasana dan situasi Indonesia dewasa ini memang diskenariokan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk memenangkan kelompok dan golongannya dengan mengorbankan toleransi yang dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.Â
Hakikat masalah/sebab, konflik, dan akibat
Jadi hal terbaik yang harus disikapi adalah alangkah indah dan bijaknya bila seluruh masyarakat dan bangsa ini memahami hakikat apa itu masalah/sebab, konflik dan akibat.Â
Sayangnya, masyarakat kita sangat kurang menggumuli sastra dengan membaca novel dan mengapresasi (menonton drama) yang lekat dengan unsur masalah/sebab, konflik dan akibat.Â
Padahal, bila masyarakat kita tidak kering dari dunia sastra, maka masyarakat akan mudah memahami hakikat masalah/sebab, konflik, dan akibat, karenanya setiap individu masyarakat akan dapat menjadi pemutus mata rantai intoleransi.Â
Dengan menjadi pemutus mata rantai konflik, maka akibat-akibat yang sedianya akan terjadi akibat dari konflik maka tidak akan muncul.Â
Ternyata jawaban-jawaban dari persoalan tersebut, sejatinya sudah saya tulis 19 tahun yang lalu, yaitu " Sastra: Antara Kebutuhan dan Pengajaran".Â
Sastra memang sangat dibutuhkan dan sangat vital diajarkan melalui proses pendidikan di kelas dan bangku kuliah, yang tidak sekadar tempelan apalagi hanya numpang lewat.Â
Guru dan dosen harus memiliki ilmu secara terori dan praktik yang mumpuni, bukan malah menghindari materi sastra.Â
Pada akhirnya, dengan mengulang kembali kisah empat artikel "sastra" di tahun 2000, 2001, 2015, dan 2017, maka inilah fakta hasil pendidikan sastra Indonesia hingga saat ini.Â