Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Tengah Pandemi Corona, Pemimpin dan Rakyat Kita Butuh Sastra dan "Nyastra"

2 Juni 2020   11:14 Diperbarui: 2 Juni 2020   11:32 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlebih dalam masa pandemi corona, adalah wadah praktik nyata bagi pemimpin bangsa dan rakyat untuk membuktikan mana yang berbudi dan mana yang tidak berbudi dalam menghadapi masa sulit yang entah sampai kapan akan usai, dan kini sudah lahir pemikiran new normal yang tetap mengkawatirkan. 

Sastra tetap tak berujung tombak 

Dalam artikel sastra 20 tahun lalu, mengapa saya tulis "Bila Sastra Berujung Tombak", alasannya karena para guru bahasa Indonesia di kelas-kelas mulai SD-SMA, bahkan sampai dosen bahasa Indonesia di Universitas "tak mampu" mengajar dan mendidik siswa/mahasiswa dalam materi kesastraan dengan jitu.

Sempat lahir istilah pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, namun pada akhirnya lurus menjadi pelajaran Bahasa Indonesia. Hingga lahir sertifikasi guru.

Karenannya baik guru maupun pelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas, mengajarakan dan mendidik kesastraan hanya sekadar sebagai "tempelan". 

Apakah guru-guru bahasa salah, karena mengajar materi sastra sekadar tempelan dan sering dilewatkan? Jawabnya, tegas. Salah! 

Meski sudah menjadi cerita klasik, bahwa saat para guru bahasa menekuni ilmunya saat kuliah, pengajaran sastra di kampus juga asal lewat. Jadi, para guru bahasa yang seharusnya piawai mengajar materi sastra, saat mengajar di ruang-ruang kelas juga menjadi tak terbebani, tak merasa bersalah bila hanya sekilas mengajarkan materi sastra. 

Tak ada pendalaman apalagi melahirkan inovasi dan cipta karya sastra yang diteladani para siswa dan mahasiswa. Terparahnya, sebab tak mengajarkan dan mendidik siswa/mahasiswa tentang betapa pentingnya memahami dan menguasai ilmu sastra karena menjadikan manusia berbudi pekerti luhur. 

Beginilah akhirnya, manusia-manusia Indonesia terkini. Sebab, ujung tombaknya, para guru/dosen pun tak mumpuni dalam penguasaan dan praktik materi sastra. Itulah, latar belakang mengapa lahir artikel "Bila Sastra Berujung Tombak" 20 tahun yang lalu, yang analisisnya bahkan saya lakukan dalam beberapa tahun sebelumnya. 

Lomba inovasi pembelajaran, miskin sastra 

Lebih ironis, saat saya akhirnya menggenggam Juara Inovasi Pembelajaran "sastra drama" tingkat DKI tahun 2006 dan tingkat nasional 2007 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun