Karenanya, para elite partai yang akhirnya terpilih duduk di parlemen maupun kursi pemerintahan mewakili partai, maka sudah barang tentu hidup dengan belenggu hutang budi kepada partai.Â
Sementara partai-partai pun hutang budi kepada para cukong yang telah membiayai semua kepentingannya.
Jadi, partai-partai politik pun tidak berdiri sebagai diri sendiri, namun hanya menjadi kendaraan bisnis para cukong.Â
Luar biasa, sulit rasanya kita menemukan wakil-wakil rakyat yang seharusnya benar-benar memimpin bangsa dan negara demi untuk kesejahteraan rakyat, namun sebaliknya, para pemimpin dan wakil rakyat hanya mensejahterakan partai, selanjutnya partai politik bertugas membalas budi dan mensejahterakan para cukong.Â
Nah, para cukong mensejahterakan diri sendiri, keluarga dan koleganya. Karena contoh dan teladan dari mereka inilah, rakyat biasa pun ikut-ikutan "brangasan".Â
Ke luar dari diri sendiri, menjadi orang lain, menuruti nafsu dan ambisi, memaksakan diri. Ada yang berupaya agar dipandang sebagai orang kaya, ada yang bertindak mengikuti sikap dan gaya hidup elite politik, dan berbagai model gaya lain, yang semakin menjauhkan diri dari ciri asli orang Indonesia yang santun dan berbudi pekerti luhur.Â
Terlebih, seiring kemajuan zaman, hadirnya media massa digital, media sosial, dan riuhnya dunia maya, maka gaya hidup orang Indonesia benar-benar tercerabut dari akarnya.Â
Ikut-ikutan, mencontoh, meniru, menjipak, mengekor, memanfaatkan, mudah diombang-ambing, mudah terpengaruh, mudah menghasut, mudah menyakiti, mudah membenci, mudah bermusuhan, mudah tersinggung, sensitif, dan lain-lainnya.Â
Pendidikan semakin tertinggal, daya kreativitas dan inovasi stagnan, tetapi maunya dianggap negara maju. Ironis.Â
Yah, orang-orang di negeri ini semakin kehilangan jati diri karena diperbudak oleh diri sendiri, orang lain, pihak lain, dan situasi dan kondisi.Â