Mohon tunggu...
Sjahrie Putra
Sjahrie Putra Mohon Tunggu... -

Salam damai...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Boneka Jokowi-Ahok dan Ilusi Identitas

1 Agustus 2012   11:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:21 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah kemeja kotak-kotaknya diterima pendukungnya, dan mungkin sebagian masyarakat Jakarta, kini relawan/fans Jokowi-Ahok membuat kreasi boneka kandidatnya. Tujuannya, setali tiga uang. Sebagai instrument penggalangan dana sekaligus menciptakan kerinduan/ekspektasi/imaji tersendiri yang diharapkan konstruksi citra positif dapat ter(di)pelihara di tengah keragaman masyarakat Jakarta.



Harus diakui, kreasi icon maupun pendefinisian terhadap hasil karya yang telah dibuat oleh fans/pendukung/timses Jokowi-Ahok jauh lebih baik dibanding pasangan Fauzi-Nara.  Icon/logo kumis ternyata tidak (belum) mampu menyihir warga Jakarta sepenuhnya. Mengingat, icon tersebut juga tidak disertai oleh pemaknaan substansial yang semestinya bisa diciptakan/dibentuk oleh tim kreatif. Berbeda dengan kemeja kotak-kotak. Meski absurd, dan sulit dirasionalisasikan, namun tim kreatif Jokowi-Ahok mampu menggemakan makna kotak-kotak sebagai semangat pembaharuan/perubahan. Inilah perbedaan sekaligus pembeda yang terlihat kontras. Meski, saya juga tidak bisa melihat substansi perubahan apa yang menjadi pembeda dengan yang lain.



Kembali ke pokok persoalan, yaitu pembuatan/produksi boneka Jokowi-Ahok. Saya belum melihat pemaknaan/pendefinisian yang luar bisa sebagaimana yang menyertai pembuatan/penyebarluasan kemeja kotak-kotak. Apakah dapat selaras berjalan dengan personal branding yang mau dibangun? Apakah sudah bisa dipastikan melalui instrumen boneka, imaji/ekspektasi warga Jakarta akan bergerak konstan? Ataukah ada kecenderungan perluasan dukungan, atau sebaliknya?



Lantas bagaimana kita memahami konstruksi makna yang mau dibentuk oleh fans/relawan/pendukung/timses Jokowi-Ahok kepada pemilihnya atau masyarakat Jakarta umumnya.  Saya tidak ingin mengasosiasikan/menyederhanakan fenomena tersebut semirip penciptaan boneka aktor/aktris hollywood atau menyamakannya dengan boneka barbie. Sebagai pengagum yang mengagumi idolanya, sah-sah saja seorang pendukung/fans memproduksi/menyumbang sesuatu. Dalam pandangan seorang seniman Didi Kempot gagasan untuk membuat boneka Jokowi-Ahok merupakan sumbangsih dirinya. Dan itu patut dihargai.



Lepas dari inisiatif Didi Kempot, fenomena ini merupakan bentuk/dampak dari gejala sosial (postmodern) yang patut dicermati. Yang mana representasi kepemimpinan politik sebagai bentuk reproduksi personifikasi Jokowi-Ahok menjadi semakin absurd dan jauh dari pemaknaan. Seolah ingin mengaburkan atau memagari memori massa yang mau melihat sosok Jokowi-Ahok dari perspektif lain. Produksi massal boneka tersebut menandakan adanya usaha/intercept untuk menginjeksi kesadaran/persepsi publik yang tunggal tentang Jokowi-Ahok. Mungkin secara monolitik bisa ditafsirkan sebagai super-hero, ‘Sang Mesiah’/Penyelamat/Pencerah atau tokoh pembaharu.



Inilah fenomena unik, aneh dan paradoks. Mengapa? Karena dalam trend budaya pop, segala hal yang berbau keunikan/kekhasan biasanya selalu dengan mudah diserap pasar. Apalagi, bila produk tersebut memiliki nilai khusus di hati penggemarnya. Aneh, karena apa yang ditekankan/yang mau disampaikan sekedar bentuk/citra yang seolah nyata meski  hampa dari makna. Jenis produksi dan konsumsi budaya massa itu yang jelas selalu meminggirkan kompleksitas masalah (Jakarta) dan realitas konteks/ (seorang pemimpin) untuk meretas masalah ke-Jakartaan. Paradoks, karena dalam budaya konsumerisme, persepsi konsumsi memperoleh bentuknya yang baru. Tak lagi penting nilai guna atau aspek utilitas sebuah produk, sesuai kebutuhan atau tidak. Yang jelas lebih dilatari oleh perspektif sosial-budaya baru dan kian jauh dari nilai kemanfaatan/utilitas. Aspek itu kemudian berganti menjadi tanda, simbol, citra dan gaya hidup yang dipersepsikan melalui kemasan sebuah produk (Jean P. Baudrillard). Fenomena ini membuahkan individualisme dan menepis identitas personal yang dianggap sekedar warisan masa lalu atau dianggap tidak lagi bermakna (Fredric Jameson).




Pemaknaan itu kemudian berubah wujud/digantikan dengan kemasan produk (apapun bentuknya) yang mengubah/menggeser makna substansial menjadi artifisial. Terjalinnya relasi politik dan bisnis membuat konstruksi baru yang mengilusi masyarakat tentang citra seseorang. Ibarat pesulap yang mampu menghilangkan realita asali dan menggantinya dengan sesuatu yang baru. Dan publik/penonton pun memaklumi/ kagum dengan atraksi pesulap tersebut.



Terkait identitas Jokowi yang ingin dibentuk adalah sosok yang sangat Java-sentris (yang dianggap memegang tradisi,nilai dan kebudayaan Jawa), sederhana, bersih, well record, santun, tidak sombong dst. Sedangkan identitas Ahok dipersepsikan sebagai sosok yang berani, kritis, bersih, dan well record. Mungkin persepsi ini ada benarnya, meski tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mengingat identitas seseorang terlalu kompleks dipersepsikan secara tunggal.



Sebagaimana diketahui, Jokowi merupakan Walikota Solo yang menjabat sejak 2010-2015. Sedangkan Ahok adalah seorang legislator dari Fraksi Partai Golkar periode 2009-2014. Yang kemudian di tengah jalan berhenti/mengundurkan diri sekaligus keluar dari Partai Golkar. Awalnya Jokowi berlatar seorang pengusaha mebel yang kemudian dilamar oleh PDIP sebagai calon yang diusung dalam Pilkada Kota Solo sejak 2005. Begitupun Ahok. Awalnya, Ahok berkecimpung di dunia bisnis. Pada Pemilu 2004 Ahok menjabat Anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur sampai 2009. Di tengah jalan, Ahok mengikuti kontestasi Pilbup Belitung Timur. Dan terpilih, untuk masa jabatan 2005-2010. Di tahun 2007, Ahok melepas jabatannya untuk mengikuti kompetisi Pilgub Bangka Belitung. Spekulasi politiknya tidak membuahkan hasil. Dua tahun kemudian, Ahok menjadi anggota Partai Golkar dan terpilih menjadi Anggota DPR RI periode 2009-2014. Jabatan ini juga tidak ditamatkan oleh Ahok. Ambisi politiknya melatari dirinya untuk bertarung di pentas Pilgub Jakarta. Nasib tidak mendukungnya, restu Partai Golkar tidak didapat. Asanya tak pupus. Ahok bertekad menempuh jalur independen. Di pertengahan jalan, Ahok dilamar oleh pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto. Berkat andil Prabowo kemudian Ahok bersanding dengan Jokowi.



Dari potret tersebut, identitas Jokowi-Ahok adalah politisi atau (mantan) pejabat. Apakah dapat disebut well record? Anda mungkin dapat mencari sumber bacaan/informasi/keterangan dari manapun/siapapun yang kemudian bisa Anda tafsirkan sendiri. Lepas dari prestasi yang pernah ditorehkan oleh pasangan tersebut dalam perspektif lain kita dapat mengasumsikan Jokowi-Ahok adalah sebagai berikut;

1)Jokowi tidak sanggup membendung praktik oligarkhi parpol. Awalnya, Jokowi tidak ingin mengikuti kompetisi Pilgub Jakarta. Beliau sendiri telah menegaskan bahwa apapun yang terjadi, dirinya akan tetap di Solo. Anda bisa baca linknya disini; (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/12/03/13/m0tji0-jokowi-saya-tetap-bertahan-di-solo). Meski begitu, hasrat politik Jokowi ke Jakarta tetaplah ada, asalkan tidak menjadi pendamping Fauzi Bowo. Anda bisa membaca di link ini (http://beta.harianjoglosemar.com/2012/03/jokowi-pilih-tetap-di-solo.html). Sebagaimana diketahui, lansekap politik PDIP kala itu berkemauan agar bisa berduet dengan Fauzi Bowo dan mengusung politisi PDIP Adang Ruchjatna. Usulan ini datang dari kubu (faksi) Taufik Kiemas. Selain mengenal medan Jakarta, Adang Ruchjatna diyakini akan mampu mengkonsolidasikan kepentingan politik PDIP pada 2014. Beberapa link bacaan bisa Anda baca disini; (http://www.solopos.com/2012/channel/nasional/pilkada-dki-adang-ruchiatna-siap-wakili-pdip-jokowi-dianjurkan-jadi-menteri-170556), (http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2012/03/12/57394/Sudah-Final,-Fauzi-Bowo-Adang-Ruchiatna-), (http://news.detik.com/read/2012/03/14/133026/1867038/10/pdip-hormati-taufiq-kiemas-dukung-adang-r-jadi-wakil-foke?nd771108bcj). Meski, Jokowi  merupakan nominator untuk dijagokan dalam bursa cagub DKI Jakarta. Keputusan politik menetapkan Jokowi semakin kuat ketika Prabowo Subianto dan Menpera RI, Djan Faridz menghadap Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekanoputri. Sebagai bahan bacaan Anda bisa baca disini; (http://www.tempo.co/read/news/2012/03/20/228391326/Kapan-Akhirnya-Mega-Restui-Jokowi-Ahok ), (http://www.tempo.co/read/news/2012/03/26/228392449/Siapa-Para-Bandar-Calon-DKI-1) atau (http://www.wartakota.co.id/detil/berita/77456/Cukong-Bermain-Menteri-Guyur-Dana). Dan jauh sebelum Prabowo Subianto turun gunung, DPD Partai Gerindra bertekad mengusung Fauzi Bowo. Anda bisa baca di link ini (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/09/15360570/Gerindra.Akhirnya.Merapat.ke.Foke.)



2)Keputusan DPP PDIP untuk mengusung Jokowi sebagai cagub DKI mendapat respon dan reaksi beragam dari masyarakat Solo. Sebagian besar, reaksi yang muncul adalah menolak keputusan PDIP. Mulai dari protes terbuka kepada Jokowi maupun Megawati Soekarnoputri. Anda bisa baca disini (http://berita.liputan6.com/read/382883/warga-solo-harapkan-jokowi-tetap-di-solo) atau (http://www.solopos.com/2012/solo/warga-solo-bu-mega-biarkan-jokowi-tetap-di-solo-171439). Fenomena ini menarik dicermati. Satu sisi, kecintaan warga Solo kepada Jokowi ternyata dikalahkan oleh praktik oligarkhi parpol. Sisi lain, Jokowi berusaha meyakinkan warga Solo yang selama ini mencintainya bahwa keputusan parpol adalah yang terbaik. Entah mengapa, Jokowi tidak berusaha melakukan ‘protes’ serupa sebagaimana yang dilakukan oleh warga Solo terhadap keputusan DPP PDIP. Yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi meminta izin kepada pemilihnya untuk berkompetisi di pentas Pilgub Jakarta. Anda bisa baca di link ini (http://id.berita.yahoo.com/maju-dki-1-jokowi-minta-izin-masyarakat-solo-140759873.html). Kesan yang tersurat, Jokowi mau mengkonstruksikan dirinya (membentuk identitas diri) bahwa pencalonan dirinya merupakan ‘Tugas Negara’. Alhasil permakluman itu disetujui oleh warga Solo. Tidak hanya warga Solo saja, Wakil Walikota Solo pun rela untuk cuti untuk memberi dukungan penuh terhadap pemenangan Jokowi di Jakarta. Anda bisa baca di link ini (http://jakarta.okezone.com/read/2012/07/13/505/663088/wakil-wali-kota-solo-akan-cuti-untuk-dukung-jokowi). Dengan kata lain, identitas Jokowi sebagai Walikota Solo yang mengemban amanah sampai akhir jabatan tak lagi penting. Identitas warga Solo yang mencintai dan berharap Jokowi tetap di Solo ternyata tak lagi bernilai. Dengan segenap cara elit-elit PDIP mengilusi warga Solo bahwa sosok Jokowi dibutuhkan agar Jakarta atau negara bisa berubah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun