Kobaran api, bisa jadi adalah perlambang pembersihan jiwa. Entah dimana aku baca kalimat itu. Begitu melekat dalam ingatan, hingga sebuah kejadian mengizinkanku merasakan sensasinya.
Kami berkumpul di teras rumah. Semua. Mungkin bersepuluh atau berdua belas. Sahabat-sahabat kami penduduk asli Tanah Tradisi juga. Mereka mengenakan pakaian sehari-hari tradisi mereka yang bersahaja. Kemeja kain katun berpewarna alam jahit tangan. Semacam sarung tenun pendek selutut, menjadi 'celana' bagi mereka. Ikat kepala pun berbahan kain katun tanpa bahan sintetis. Semuanya menggunakan bahan alam.
Ada David. Ada Christian.Â
Semua mengerumuni Mia, Si Gadis Tomboy, yang sudah lama sekali nggak singgah ke rumah keluarga kami. Mia, duduk bersila, mengulurkan tangan kirinya. Telapak tangan kiri Mia dibentangkannya lebar-lebar. Semua orang, kuulangi lagi, semua orang tanpa kecuali memandang ke arah telapak tangan kiri Mia, termasuk aku. Al nggak ada. Raras juga nggak ada. Mereka berdua sedang ada acara di luar kota.
Mereka semua yang di teras rumah bilang, mereka bisa melihat 'sesuatu' di telapak tangan kiri Mia. Mereka bilang, mereka seperti melihat tayangan video. Semua! Kecuali aku.Â
Duh, sedihnya menjadi aku yang berbeda dari mereka.Â
Meski begitu, kupaksa juga mataku kuarahkan ke telapak kiri Mia.Â
Sedetik.
Dua detik.
Lima detik.Â
Tak ada apa-apa.
Maka aku pun segera mengalihkan pandangku. Diam. Selintas aku melihat wajah-wajah mereka mengekspresikan kengerian.Â