(oleh : Poloria Sitorus, S.Pd)
Ketika berubah status dari gadis menjadi istri dan ibu rumahtangga, secara otomatis kita dituntut menjadi seorang akuntan handal. Tak peduli latar belakang pendidikan kita sebelumnya. Management dan pengelolaan keuangan keluarga diserahkan secara utuh kepada istri atau ibu rumahtangga.
Mulai dari belanja harian, penyediaan kebutuhan primer, sekunder, kebutuhan tersier hingga kebutuhan lux keluarga. Tagihan air dan listrik setiap bulannya, kredit motor, sewa rumah, anggaran uang sekolah anak, asuransi dan lain sebagainya.
Jika Anda seorang ibu rumahtangga yang tetap berkarir di kantoran dengan slip gaji lumayan besar ditambah gaji suami, mungkin pengelolaan keuangan keluarga terbilang mudah. Karena ada dua sumber pemasukan. Apalagi kalau jabatan Anda atau jabatan suami Anda di kantor sebagai pegawai tinggi, seperti misalnya Manager atau Wakil Direktur Perusahaan.Â
Bisa dikatakan tidak banyak kendala atau masalah keuangan yang akan Anda hadapi karena gaji Anda mungkin terbilang cukup tinggi dibanding pegawai rendah lainnya, seperti Cleaning Service, Sopir, dan lain sebagainya yang gajinya bahkan kadang-kadang di bawah UMR (Upah Minimum Regional).
Lalu bagaimana kalau Anda hanya seorang ibu rumahtangga 'full times moms' yang hanya mengharapkan gaji suami per bulan tanpa ada tambahan pemasukan lainnya? Dengan tanggungan lima orang anak, ditambah lagi beban tanggungan lainnya. Barangkali Anda harus gali lobang tutup lobang untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga Anda.
Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi dari tahun ke tahun. Dan pengaruh pelemahan nilai rupiah, sebagaimana dilansir oleh www.moneysmart.id bahwa di awal tahun 2018 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp.13.500; hingga pada Mei 2018 turun lagi menjadi Rp.14.000; per dolar AS dan mencapai titik terendah pada Oktober 2018 hingga Rp.15.200; per dolar AS.Â
Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS ini dikatakan mencapai titik terendah sejak krisis moneter tahun 1998. Mau tidak mau, suka tidak suka, hal ini tentu sangat berimbas pada pendapatan dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Nilai rupiah "seolah tak berharga lagi."Â
Coba bayangkan, satu dolar AS saja harus kita bayar dengan Rp.15.200; Itu artinya nilai rupiah kita 15.200 kali lebih rendah dibanding nilai mata uang dolar AS. Atau ilustrasi lainnya, jika masyarakat di Amerika Serikat membeli sebutir telur hanya dengan 2 dolar AS saja, maka  kita sebagai masyarakat Indonesia harus membayarnya dengan harga Rp.30.400; Miris sekali bukan.
Lalu bagaimana kita menanggapi dan mengimbangi hal ini? Tentunya dengan pengelolaan keuangan yang smart.Â