Sementara itu, budaya Jawa menekankan kesopanan, baik dalam cara berbicara maupun sikap, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain. Orang Jawa diajarkan untuk menahan emosi dan tidak menunjukkannya secara langsung. Prinsip seperti sabar, menerima dengan ikhlas (nrima), dan ketulusan menjadi landasan penting dalam mengatur emosi, sehingga kemampuan mengelola emosi telah menjadi bagian dari budaya mereka.
Dari sudut pandang psikologi, kebiasaan menggerutu pada orang Jawa dapat dikategorikan sebagai bentuk kemarahan yang ditahan dan diarahkan ke dalam diri (anger in), yang berhubungan dengan perilaku menekan emosi (suppressing). Sebaliknya, orang Batak lebih sering menunjukkan kemarahan mereka secara langsung (anger out), yang cenderung mengarah pada perilaku mengumbar emosi (overexpressing) (Minauli, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa budaya dapat mempengaruhi cara individu berkomunikasi, berinteraksi, dan mengekspresikan emosi.
REFERENSI
Azmi, N. (2015). Potensi emosi remaja dan pengembangannya. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 2(1), 36-46.
Adellia, A. A., & Aco, F. (2020). Problematika Mahasiswa Indonesia Timur Dalam Menyesuaikan Budaya Di DIY. Jurnal Enersia Publika: Energi, Sosial, dan Administrasi Publik, 4(2), 320-329.
Fridayanti, F., & Fitriah, E. (2020). Mengapa dan bagaimana saya marah? Studi eksplorasi mengenai penyebab dan pilihan ekspresi marah pada remaja Islam beretnis Sunda. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology.
Hardjowirogo, M. (1983). Manusia Jawa. Yayasan Idayu.
Iskandar, J. (2017). Etnobiologi dan keragaman budaya di indonesia. Umbara, 1(1).
Lubis, S. (1999). Komunikasi Antara Budaya: Kajian Kasus Etnik Batak Toba dan Etnik Tionghoa di Sumatera Utara.
Matsumoto, D., Yoo, S. H., & Chung, J. (2010). The expression of anger across cultures. International handbook of anger: Constituent and concomitant biological, psychological, and social processes, 125-137.
Muhammad, H. A. (2024). Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia. Marja.