Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Darah Biru yang Terluka (54)

1 Februari 2015   01:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:01 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14227036571608099956

[caption id="attachment_366735" align="aligncenter" width="600" caption="Sumbrt Gambar: www.jurnalhajiumroh.com"][/caption]

Bagian ke Lima Puluh Empat :   SURYO   BASKORO  MENGHADANG

“Kita nanti langsung kedepan istana ya ?” aku tanya Kuning
“Iya kalau persiapanmu sudah selesai, lebih baik kita segera kedepan.”
Aku membawa cemeti yang kulilitkan di pinggangku dan sebuah pedang panjang yang biasa aku bawa.

Kita keluar dari kamar, beberapa senapati dan prajurit kerajaan segera bersiap.
“Belum ada tanda-tanda Samudera Laksa mau datang senapati ?” aku tanya
“Belum Puteri, belum ada sangkakala yang terdengar.” Jawab senapati Mayang.

Ketika kita sampai depan istana, nyai Gandhes, nini Sedah dan pangeran Biru ternyata sudah berangkat ke garis depan sebelah timur.

“Sudah lama beliau berangkat ke Timur ?” kutanya salah satu senapati
“Sudah Puteri, karena ada kabar pasukan Kemayang mulai menyerang dari arah timur, semua panglimanya dibawa.”

Aku lihat paman Andaga datang tergesa-gesa “Ada apa paman ?” tanyaku
“Panglima Samudera Laksa tidak jadi datang tarung jago, Puteri. Pasukan Kemayang malah menyerang besar-besaran di sebelah timur, hampir semua panglimanya dibawa kesana. Buyut Haruna dikabarkan turun”
“Puteri berdua diharapkan kehadirannya disana, saya di perintah untuk menjaga istana, untuk menahan serangan dari utara.”

Kita lari kedalam, mengambil Guntur Geni, kemudian langsung melecut kuda dengan cepat, di kawal oleh pasukan penjagaku .
Juga pasukan yang mengawal Puteri Kuning, beserta beberapa senapati pendamping..

“Awas … hati-hati … S-u-r-y-o  B-a-s-k-o-r-o, pasukan mundur…” aku kaget
“Buyut Haruna benar yang maju ?” aku tanya pada seorang senapati yang berkuda sambil berteriak-teriak.

“Betul Puteri, …Buyut Haruna yang maju –Nyai Gandhes dan Nini Sedah juga maju, pasukan di perintah mundur .” aku cepat memacu kudaku
Disebuah lapangan yang luas aku lihat Nyai Gandhes dan Nini Sedah melaju ketengah lapangan, seluruh pasukan di perintah undur menjauh.

Dan pasukan Kemayang maju dengan berani, beberapa panglima juga berderap dengan garangnya. Mereka mengawal seorang kakek tua yang kelihatan masih lumayan gesit berkuda,
Ditengah lapangan, kakek itu turun, berjalan agak tertatih dengan tongkatnya.
Dua kuda tampak menghampiri, tampak Nyai Gandhes dan Nini Sedah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun