Di saat yang sama, pendakian ini menjadi cermin bagi ketekunan dalam perjalanan spiritual. Seperti suluk dalam tasawuf yang memerlukan waktu dan usaha terus-menerus, naik tangga ini mengingatkan bahwa meraih maqom batin bukan sesuatu yang instan.
Lebih dari itu, pendakian itu membukakan mata tentang betapa pentingnya mengurangi egoisme. Saat napas tersengal dan tubuh mulai lelah, aku tak bisa menuntut mudahnya perjalanan atau berharap semuanya berjalan cepat. Aku harus menerima keterbatasan diri, menundukkan keinginan untuk cepat sampai, dan belajar merendah yang mana merupakan sebuah sikap yang sangat penting dalam uzlah.
Di puncak Turgo, setelah menaklukkan rintangan fisik dan mental, aku merasakan damai yang sulit diungkapkan. Lelah tubuh terbayar oleh ketenangan jiwa, dan sunyi di maqom Syekh Jumadil Kubro terasa seperti pelukan hangat yang menyentuh hati terdalam.
Pendakian ribuan anak tangga itu bukan hanya perjalanan menuju sebuah tempat, tapi juga perjalanan menyelami diri, belajar sabar, ikhlas, dan berdamai dengan keterbatasan. Sebuah pengingat nyata bahwa dalam setiap langkah menuju Tuhan, kita diuji untuk menjadi lebih baik, lebih rendah hati, dan lebih tabah.
Maqom dan Uzlah: Jejak Ruhani Seorang Wali
Dalam tasawuf, maqom adalah tingkatan ruhani yang dicapai seorang salik (penempuh jalan spiritual). Setiap maqom memerlukan perjuangan: meninggalkan ego, menyucikan niat, menahan nafsu. Untuk itu, para sufi menempuh uzlah yaitu menyendiri, bukan karena membenci dunia, tapi untuk mengenali siapa diri sebenarnya, dan siapa Tuhannya.
Uzlah adalah perjuangan diam. Di tempat seperti Turgo, sunyi menjadi guru. Pohon-pohon menjadi saksi dzikir yang tak bersuara. Di sanalah seorang wali besar memilih jalan mengalahkan dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum menaklukkan hati-hati manusia dengan dakwah.
Nilai-nilai Spiritual dari Turgo
Bagi para pengunjung maqom ini, Turgo bukan hanya tempat ziarah melainkan menjadi ruang tafakur. Jejak uzlah Syekh Jumadil Kubro mengajarkan bahwa :
1. Ketenangan batin tidak datang dari keramaian, tapi dari kesediaan menyepi.