Pernah gak, kamu cuma parkir motor di minimarket gak sampai tiga menit, eh pas keluar langsung disodori tangan sambil dikasih kode: "Seribu, Mbak." Bahkan kadang tanpa senyum, tanpa kata-kata. Kalau gak dikasih, bisa-bisa ditatap dari ujung helm sampai stiker Scoopy. Kalau pun kita kasih lima ratus, bisa dicibir. Gila, aku cuma mau beli odol, bukan bayar sewa lahan tiga hari.
Fenomena tukang parkir liar ini bukan hal baru. Tapi yang bikin muak adalah bagaimana masyarakat---termasuk aku sendiri kadang---terpaksa "diam dan bayar" karena malas ribut, gak mau cari masalah, atau karena sudah terlalu sering didiamkan. Kita jadi terbiasa ditarik uang oleh orang yang sebenarnya tidak memberi jasa apapun. Motor gak ditata, kita nyebrang gak disebrangkan, kadang malah mereka cuma berdiri di pojokan sambil main HP atau merokok.
Lucunya lagi, tukang parkir liar sering muncul di tempat-tempat yang seharusnya gak perlu bayar parkir: minimarket, apotek, ATM, bahkan masjid. Tanpa seragam, tanpa karcis, tapi selalu siap menagih. Dan entah kenapa, mereka bisa muncul di waktu dan tempat paling tidak diduga, seperti ninja pungutan liar. Ini bukan pekerjaan, ini pemalakan yang dibungkus norma sosial.
Ini Bukan Masalah Receh, Ini Masalah Budaya
Jangan salah, ini bukan sekadar soal "ah, cuma seribu-dua ribu doang". Bayangkan kamu ke 5 tempat dalam sehari, dan semuanya harus bayar ke tukang parkir liar. Totalnya bisa lebih dari harga bensin buat muter kampus. Kalau mereka benar-benar bekerja, rasanya ikhlas. Tapi kalau cuma "numpang berdiri lalu menagih", itu rasanya seperti dipalak atas ruang publik yang bukan milik mereka.
Lebih jauh lagi, ini juga menyentuh isu tentang ketimpangan dan ketidakhadiran negara. Kenapa tukang parkir liar bisa bertahan dan bahkan "berjaya" di banyak titik kota? Ada yang bilang mereka setor ke oknum, ada yang bilang itu sudah jadi ladang penghidupan warga sekitar. Tapi sampai kapan profesi ini dibiarkan tanpa regulasi jelas, tanpa standar etika, dan tanpa perlindungan bagi pengguna jalan?
Tukang Parkir: Antara Profesi dan Premanisme
Tentu tidak semua tukang parkir seperti itu. Banyak juga yang ramah, gesit, bantuin nyebrangin motor atau mobil, bahkan bantu cari tempat parkir. Tapi sayangnya, tukang parkir yang model begini malah makin langka. Yang sering kita temui adalah tukang parkir yang menganggap dirinya seperti palang hidup: berdiri, diem, nagih.
Dan lebih ngeselin lagi: kalau gak dikasih uang, mereka bisa marah. Entah dengan tatapan tajam, gumaman kasar, atau sindiran. Kadang motor kita pun "diingat" --- jadi target kalau besok-besok parkir lagi. Ini bukan sistem jasa, ini sistem intimidasi.
Apa Solusinya?
Sebagai pengguna jalan dan warga biasa, kita memang terbatas. Tapi beberapa hal ini bisa kita dorong:
Tolak halus jika memang tidak dilayani -- Beri penjelasan, tetap sopan, tapi teguh.
Laporkan ke kelurahan atau pihak berwenang jika parkir liar sudah meresahkan -- Apalagi kalau dekat sekolah, masjid, atau fasilitas publik.
Dukung sistem parkir resmi dengan karcis, aplikasi, atau petugas berseragam -- Karena minimal, ada pertanggungjawaban.
Ajak ngobrol tukang parkir yang baik dan bantu mereka tetap bertahan -- Kita butuh tukang parkir, tapi yang kerja bener.
Mau Sampai Kapan?
Kalau profesi tukang parkir terus dibiarkan tanpa etika dan aturan, maka yang rugi bukan cuma konsumen --- tapi juga tukang parkir yang benar-benar niat kerja. Budaya "asal narik duit" ini merusak kepercayaan dan menciptakan ketegangan sosial kecil yang terus terjadi tiap hari. Kita harus mulai berani bilang: "Bang, ini bukan soal uangnya. Ini soal rasa hormat."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI