Mohon tunggu...
Siti Nurhaliza S.
Siti Nurhaliza S. Mohon Tunggu... mahasiswi ilmu komunikasi universitas islam negeri sunan kalijaga | 24107030149

give a friendly hello to the beginner blogger!!

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Parkir Liar dan Budaya Malak yang Dinormalisasi: Kita Parkir Cuma Bentar, Bang!

13 Juni 2025   21:07 Diperbarui: 13 Juni 2025   21:07 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tukang parkir (Sumber: Google)

Pernah gak, kamu cuma parkir motor di minimarket gak sampai tiga menit, eh pas keluar langsung disodori tangan sambil dikasih kode: "Seribu, Mbak." Bahkan kadang tanpa senyum, tanpa kata-kata. Kalau gak dikasih, bisa-bisa ditatap dari ujung helm sampai stiker Scoopy. Kalau pun kita kasih lima ratus, bisa dicibir. Gila, aku cuma mau beli odol, bukan bayar sewa lahan tiga hari.

Fenomena tukang parkir liar ini bukan hal baru. Tapi yang bikin muak adalah bagaimana masyarakat---termasuk aku sendiri kadang---terpaksa "diam dan bayar" karena malas ribut, gak mau cari masalah, atau karena sudah terlalu sering didiamkan. Kita jadi terbiasa ditarik uang oleh orang yang sebenarnya tidak memberi jasa apapun. Motor gak ditata, kita nyebrang gak disebrangkan, kadang malah mereka cuma berdiri di pojokan sambil main HP atau merokok.

Lucunya lagi, tukang parkir liar sering muncul di tempat-tempat yang seharusnya gak perlu bayar parkir: minimarket, apotek, ATM, bahkan masjid. Tanpa seragam, tanpa karcis, tapi selalu siap menagih. Dan entah kenapa, mereka bisa muncul di waktu dan tempat paling tidak diduga, seperti ninja pungutan liar. Ini bukan pekerjaan, ini pemalakan yang dibungkus norma sosial.

Ini Bukan Masalah Receh, Ini Masalah Budaya

Jangan salah, ini bukan sekadar soal "ah, cuma seribu-dua ribu doang". Bayangkan kamu ke 5 tempat dalam sehari, dan semuanya harus bayar ke tukang parkir liar. Totalnya bisa lebih dari harga bensin buat muter kampus. Kalau mereka benar-benar bekerja, rasanya ikhlas. Tapi kalau cuma "numpang berdiri lalu menagih", itu rasanya seperti dipalak atas ruang publik yang bukan milik mereka.

Lebih jauh lagi, ini juga menyentuh isu tentang ketimpangan dan ketidakhadiran negara. Kenapa tukang parkir liar bisa bertahan dan bahkan "berjaya" di banyak titik kota? Ada yang bilang mereka setor ke oknum, ada yang bilang itu sudah jadi ladang penghidupan warga sekitar. Tapi sampai kapan profesi ini dibiarkan tanpa regulasi jelas, tanpa standar etika, dan tanpa perlindungan bagi pengguna jalan?

Tukang Parkir: Antara Profesi dan Premanisme

Tentu tidak semua tukang parkir seperti itu. Banyak juga yang ramah, gesit, bantuin nyebrangin motor atau mobil, bahkan bantu cari tempat parkir. Tapi sayangnya, tukang parkir yang model begini malah makin langka. Yang sering kita temui adalah tukang parkir yang menganggap dirinya seperti palang hidup: berdiri, diem, nagih.

Dan lebih ngeselin lagi: kalau gak dikasih uang, mereka bisa marah. Entah dengan tatapan tajam, gumaman kasar, atau sindiran. Kadang motor kita pun "diingat" --- jadi target kalau besok-besok parkir lagi. Ini bukan sistem jasa, ini sistem intimidasi.

Apa Solusinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun