Menjadi seorang guru adalah impian penulis sejak kecil. Ada kebahagiaan tersendiri membayangkan bisa bertemu anak-anak yang lucu, mengajarkan hal-hal baru, sekaligus belajar memahami beragam karakter mereka. Gambaran itu terasa begitu hangat di angan, seolah menghadirkan kebahagiaan yang sederhana namun penuh makna.
Dua pekan melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di MAN 2 Kota Cirebon seakan menjadi jawaban nyata dari doa yang lama terucap. Rasanya seperti Allah sedang mengabulkan impian masa kecil penulis. Ketika pertama kali masuk ke kelas XI, hati ini dipenuhi rasa senang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan, seolah sayang untuk sekadar berkedip karena ingin menikmati setiap momen yang hadir di depan mata.
Penulis memperhatikan suasana kelas yang dipandu oleh guru pamong. Mengamati satu per satu siswa, mencoba menangkap karakter yang mereka tunjukkan, dan tersenyum kecil melihat kepolosan yang begitu alami. Dari sorot mata, gerak tubuh, hingga celetukan kecil mereka, semuanya menghadirkan suasana yang hangat.
Yang perlu diingat, setiap siswa dan siswi memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Mereka datang dengan cerita masing-masing, dengan pengalaman hidup yang tidak sama. Namun ketika mereka duduk bersama dalam ruang kelas, berinteraksi, bercanda, dan belajar dalam satu waktu, semua perbedaan itu seakan melebur, menciptakan suasana kebersamaan yang tulus. Di situlah kelas menjadi tempat yang hangat, penuh warna, dan kaya makna.
Saat pertama kali mempraktikkan pengajaran di depan kelas, rasa gugup tentu tidak bisa dihindari. Namun suasana menjadi jauh lebih tenang ketika melihat bagaimana anak-anak merespons. Mereka seolah ikut menenangkan penulis. Bahkan ketika penulis sempat kikuk, mereka tetap interaktif, memberikan tanggapan yang baik, dan membuat suasana kelas tetap hidup. Dari situ muncul rasa syukur, karena ternyata siswa-siswa tidak hanya mau belajar, tetapi juga bisa menghargai usaha guru yang baru belajar mengajar. Setelah kelas berakhir, penulis mendapatkan evaluasi dari guru pamong. Sebuah momen yang begitu berkesan, karena nasihat yang diberikan terasa mendalam sekaligus menumbuhkan semangat. Penulis merasa bangga mendapat pengarahan langsung dari sosok yang berpengalaman.
Dalam sesi itu, guru pamong menyinggung satu kejadian di kelas. Saat suasana sedikit tidak terkontrol, ada seorang siswa yang mengemukakan pendapatnya dengan cara yang kurang tepat. Penulis, karena gugup, tidak segera meluruskan kesalahpahaman tersebut. Untunglah guru pamong dengan sigap memberi penjelasan agar anak-anak tidak keliru memahami. Dari situ, guru pamong menekankan sebuah pesan penting: "Kita harus berani meluruskan segala kesalahpahaman dalam mengajar. Jangan malu, jangan segan, dan jangan menganggap hal itu sepele. Kalau dokter melakukan malapraktik, dampaknya hanya pada satu orang. Tapi kalau guru malapraktik, satu generasi bisa hancur."
Kalimat itu begitu membekas. Pengalaman sederhana tersebut mengingatkan penulis betapa besar tanggung jawab seorang guru. Bukan hanya mengajar di kelas, tetapi juga ikut membangun masa depan negeri melalui anak-anak yang dididik dengan sepenuh hati.
Pengalaman mengajar di kelas menjadi bagian paling berharga dalam PPL ini. Dari hari-hari awal, penulis selalu mencoba menangkap pelajaran kecil dari guru pamong, termasuk ketika beliau menerapkan metode yang cukup unik dan tidak biasa. Cara mengajarnya terasa sederhana, tetapi begitu dalam maknanya.
Anak-anak tidak langsung diberi materi saat pelajaran dimulai, melainkan sudah mendapatkannya lima hari sebelumnya. Mereka diminta membaca, memahami, bahkan menuliskan kembali apa yang mereka tangkap dari materi itu. Hasil tulisan harus dikumpulkan dua hari sebelum pertemuan. Dengan begitu, setiap anak datang ke kelas sudah membawa bekal pengetahuan, meski tentu dengan pemahaman yang berbeda-beda.