Mohon tunggu...
siti nur azizah
siti nur azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Saya adalah seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang memiliki semangat besar dalam menjelajahi alam dan menelusuri jejak sejarah. Bagi saya, setiap perjalanan bukan hanya soal tempat baru, tapi juga tentang memahami kisah-kisah lama yang membentuk dunia hari ini. Kecintaan saya terhadap sejarah memandu langkah kaki saya saat traveling menjadikan setiap tapak petualangan sebagai pelajaran hidup dan refleksi budaya. saya ingin memperluas cakrawala, berbagi pengalaman, dan tumbuh bersama komunitas yang memiliki semangat yang sama dalam mencintai alam, seni, dan warisan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejarah dalam Kostum, Cosplayer Kota Tua dan Peran Sosialnya

26 Mei 2025   07:50 Diperbarui: 26 Mei 2025   10:58 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap akhir pekan, selalu ramai pengujung, banyak orang datang ke Kota Tua untuk menikmati suasana dan hiburan yang ada dan untuk bersantai.

Setiap sisi Kota Tua dihiasi oleh penampilan Nona-Nona Belanda dan tokoh-tokoh pahlawan dalam balutan cosplay. Dengan kostum rapi dan gaya khas, merek
Setiap sisi Kota Tua dihiasi oleh penampilan Nona-Nona Belanda dan tokoh-tokoh pahlawan dalam balutan cosplay. Dengan kostum rapi dan gaya khas, merek

Kota Tua, 26 Mei 2025- Kota Tua Jakarta dikenal sebagai kawasan wisata sejarah yang aktif sepanjang akhir pekan. Bangunan tua bergaya Eropa berdiri kokoh di sepanjang pelataran, namun daya tarik kawasan ini tidak berhenti pada arsitektur kolonial. Kota Tua, yang dahulu merupakan pusat pemerintahan kolonial Belanda bernama Batavia, merupakan titik awal sejarah urban Jakarta. Dibangun sejak abad ke-17, kawasan ini menyimpan banyak warisan arsitektur, seperti Museum Fatahillah yang dulunya adalah Balai Kota Batavia, Gedung Pos Indonesia, Museum Bank Indonesia, meseum wayang, Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan Keramik, deretan ruko-ruko bergaya Indische Empire yang kini menjadi kafe dan galeri seni. Penataan kawasan ini telah melalui berbagai fase revitalisasi oleh pemerintah kota dan Kementerian Pariwisata untuk menjadikannya bukan hanya situs bersejarah, tetapi juga ruang publik yang hidup dan inklusif. Kawasan ini mencerminkan pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Di satu sisi, kita bisa menyaksikan bangunan bergaya kolonial yang dilestarikan dengan detail di sisi lain, aktivitas masyarakat berjalan dinamis pedagang kaki lima, seniman jalanan, pemandu wisata, hingga wisatawan domestik dan mancanegara yang menjelajahi ruang kota sambil memotret sudut-sudut penuh sejarah. Fungsi Kota Tua kini tidak lagi hanya sebagai kawasan konservasi, tetapi juga sebagai destinasi budaya dan ekonomi kreatif. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir berupaya mendorong Kota Tua sebagai bagian dari program pariwisata berbasis komunitas dan sejarah hidup. 

     namun daya tarik kawasan ini tidak berhenti pada arsitektur kolonial. Setiap Sabtu dan Minggu, pengunjung akan menemukan sosok-sosok berkostum unik berdiri di berbagai sudut area, seperti perempuan dengan gaun putih panjang ala abad ke-18 dan pria berjubah menyerupai tokoh-tokoh pahlawan nasional. Mereka bukan pegawai museum atau aktor profesional. Mereka adalah pekerja informal yang memilih untuk menghidupkan sejarah dengan cara berdiri dan berinteraksi langsung dengan pengunjung, melalui foto dan percakapan. Dengan kotak bertuliskan "foto seikhlasnya", mereka menawarkan pengalaman visual dan edukatif bagi siapa pun yang lewat.

Dialah salah satu Nona Belanda atau yang juga dikenal sebagai Dutch Maiden yang kerap menghiasi suasana Kota Tua dengan penampilannya yang khas. 
Dialah salah satu Nona Belanda atau yang juga dikenal sebagai Dutch Maiden yang kerap menghiasi suasana Kota Tua dengan penampilannya yang khas. 
Dengan senyum anggun, Nona Belanda ini menjadi ikon hidup Kota Tua, menyatu dengan suasana kolonial yang masih terasa. 
Dengan senyum anggun, Nona Belanda ini menjadi ikon hidup Kota Tua, menyatu dengan suasana kolonial yang masih terasa. 

Tampak sosok perempuan mengenakan gaun klasik berenda kuning yang sangat indah, lengkap dengan topi, payung, serta properti seperti sepeda hias dan bunga mainan yang menambah kesan elegan. Ia berdiri anggun di tengah keramaian Kota Tua, menyapa pengunjung yang lewat dengan senyum dan sikap ramah. Sosoknya mencuri perhatian bukan karena suara, tetapi lewat detail kostum. Dialah salah satu Nona Belanda, atau yang sering disebut Dutch Maiden. 

Saat ditemui, ia sempat berbagi cerita soal kesehariannya sebagai cosplay.

"Saya biasanya datang bawa kostum sendiri. Dandannya ya di toilet umum, atau kalau penuh, saya cari pojokan yang aman buat dandan cepat. Kadang sambil ngaca di kamera HP aja. Kalau sudah siap, saya berdiri di tempat yang menurut saya paling pas, yang sering dilewati pengunjung. Saya senyum aja, berdiri anggun, sambil bawa payung dan bunga. Kadang ada yang langsung minta foto, kadang harus nunggu lama baru ada yang nyamperin. Penghasilan saya dari yang foto bareng. Nggak ada tarif tetap, mereka kasih seikhlasnya. Ada yang kasih lima ribu, ada yang sepuluh ribu, kadang juga lebih. Tapi sering juga nggak dikasih apa-apa. Saya sih terima aja, yang penting mereka senang. Kadang ramai, kadang sepi. Tapi saya tetap datang. Karena saya merasa, kalau saya berdiri di sini, berpakaian seperti ini, ada bagian sejarah yang ikut hidup. Itu yang bikin saya betah. Meskipun capek, tapi rasanya ada kebanggaan kecil yang nggak bisa dibayar.

Pekerjaan sebagai Nona Belanda bukan hanya soal kostum dan foto. ini adalah cara untuk memperoleh penghasilan sekaligus memperkenalkan sejarah kepada publik. Meskipun tidak memiliki status resmi, pekerjaan ini memberi ruang ekspresi, membuka peluang ekonomi, dan menjadikan ruang kota sebagai tempat kerja kreatif. Namun, penghasilan mereka sangat bergantung pada jumlah pengunjung dan kebaikan hati orang yang berfoto. Tak ada gaji tetap. Tak ada jaminan sosial. Tapi mereka tetap hadir karena percaya peran mereka penting, meski tidak tercatat secara formal.

Di sudut lain Kota Tua, seorang pria tampil dengan pakaian pahlawan dan tubuh yang sepenuhnya dilapisi cat kuning keemasan. Ia berdiri berjam-jam dalam posisi yang sama, menjaga gestur dan ekspresi wajah agar tetap menyerupai patung hidup. Ia jarang berbicara, kecuali saat diajak ngobrol atau diminta foto oleh pengunjung.

Seorang pria berdandan seperti tentara emas berdiri kaku menyerupai patung hidup di Kota Tua, menarik perhatian pengunjung yang lalu lalang. 
Seorang pria berdandan seperti tentara emas berdiri kaku menyerupai patung hidup di Kota Tua, menarik perhatian pengunjung yang lalu lalang. 

Bagi para cosplay pahlawan, pekerjaan ini bukan sekadar mencari uang. Mereka merasa memiliki peran kecil dalam memperkenalkan tokoh-tokoh nasional kepada masyarakat. Pengunjung tidak hanya mendapatkan foto, tapi juga cerita. Sebagian besar dari mereka belajar sejarah secara otodidak, mencari tahu tokoh-tokoh yang mereka perankan, dan berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan cara yang sederhana namun benar. 

    Hal ini membuktikan bahwa pendidikan bisa berlangsung di luar ruang kelas dan pekerjaan informal pun bisa punya nilai edukatif.Dari sisi ekonomi, pekerjaan ini bisa dikategorikan sebagai bagian dari sektor informal di bidang pariwisata budaya. Mereka tidak tercatat dalam sistem tenaga kerja resmi, namun berkontribusi langsung pada pengalaman wisata pengunjung. Kehadiran mereka membuat suasana Kota Tua menjadi hidup, dan memberi nilai tambah edukatif yang tidak tersedia dalam brosur atau papan informasi. Banyak pengunjung yang awalnya hanya ingin berfoto, lalu akhirnya mendapatkan pengetahuan baru tentang tokoh yang mereka lihat. 

Jika dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), maka pekerjaan ini memiliki dampak nyata pada beberapa poin penting. 

  • 1. Pertama, SDG 8 tentang sDG 8: Mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, pekerjaan penuh dan produktif, serta pekerjaan layak untuk semua. 

Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi. Kegiatan cosplay sejarah seperti menjadi Nona Belanda atau pahlawan nasional merupakan bentuk pekerjaan informal yang produktif. Meskipun tidak berada di sektor formal, pekerjaan ini memberikan akses penghasilan mandiri bagi individu yang mungkin tidak memiliki kesempatan kerja tetap karena keterbatasan pendidikan, usia, atau kondisi sosial lainnya. Mereka bekerja tanpa gaji tetap, namun penghasilan diperoleh dari kontribusi pengunjung ("foto seikhlasnya"), dan ini bisa menjadi sumber nafkah harian yang signifikan. Dengan demikian, aktivitas ini turut mengurangi pengangguran terbuka dan memperluas peluang kerja di sektor pariwisata budaya dan ekonomi kreatif. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi model pekerjaan layak berbasis komunitas. 

  • 2. Kedua, sDG 4 tentang pendidikan berkualitas: Menjamin pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua. 

Para cosplay ini menyampaikan sejarah dalam bentuk pengalaman langsung dan visual, yang lebih mudah dipahami oleh banyak pengunjung, terutama anak-anak dan remaja. Dengan berdandan seperti tokoh-tokoh sejarah dan berinteraksi dengan masyarakat, mereka menjadi semacam pendidik jalanan yang menyampaikan narasi sejarah dalam bentuk yang menyenangkan dan mudah diakses. Ini mendukung pembelajaran informal yang kaya, kontekstual, dan tidak terbatas pada ruang kelas. Bahkan, pengunjung sering kali mendapatkan pengetahuan baru yang tidak mereka temukan di buku pelajaran atau papan informasi museum.

  • 3. Ketiga, sDG 11 tentang kota dan komunitas berkelanjutan: Menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tahan lama, dan berkelanjutan. 

Keberadaan para cosplay sejarah membuat Kota Tua menjadi ruang publik yang hidup dan partisipatif, bukan hanya sebagai kawasan peninggalan. Mereka menjaga warisan budaya tetap relevan dan mengaktifkan ruang kota melalui keterlibatan masyarakat. Kota tidak hanya menjadi tempat bangunan berdiri, tetapi tempat di mana sejarah dihidupkan kembali secara langsung. Ini mencerminkan pendekatan pelestarian berbasis komunitas, di mana masyarakat menjadi pelaku aktif, bukan hanya penonton. Hal ini memperkuat konsep kota berkelanjutan yang menghargai memori kolektif dan identitas lokal.

  • sDG 5 tentang kesetaraan gender: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. 

Banyak perempuan terlibat sebagai Nona Belanda, dan mereka tidak hanya hadir sebagai "pajangan", tetapi aktif memilih peran, membuat kostum sendiri, menyusun narasi sejarah, dan berdiri di ruang publik dengan percaya diri. Aktivitas ini memberikan ruang ekspresi, ekonomi, dan eksistensi bagi perempuan di ruang terbuka, yang sering kali masih didominasi laki-laki. Ini juga membuktikan bahwa perempuan memiliki tempat dalam pelestarian budaya dan pariwisata sejarah, serta bisa menjadi simbol pengetahuan dan kreativitas tanpa harus tunduk pada struktur kerja formal yang sering kali membatasi partisipasi mereka.

  • kelima, sDG 10 tentang pengurangan kesenjangan, karena pekerjaan ini membuka peluang kerja tanpa syarat ijazah atau gelar formal.

Pekerjaan ini tidak memerlukan ijazah, gelar, atau sertifikasi formal, sehingga memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk ikut berpartisipasi dan memperoleh penghasilan. Ini sangat penting dalam konteks Indonesia yang masih menghadapi tantangan kesenjangan sosial dan akses kerja yang tidak merata. Cosplay sejarah membuka ruang partisipasi ekonomi bagi mereka yang mungkin tertinggal dalam pendidikan formal, lansia, atau penyandang keterbatasan tertentu. Dengan begitu, aktivitas ini menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial, sekaligus membangun inklusi yang lebih luas dalam sektor wisata budaya.


    Meski demikian, para pelaku kerja ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Mereka tidak memiliki ruang ganti, tempat berteduh saat hujan, atau fasilitas pendukung lainnya. Semua dilakukan mandiri. Sebagian berharap ada perhatian dari pemerintah bukan untuk menggaji mereka, tetapi setidaknya memberikan legalitas, pelatihan sejarah singkat, dan tempat tampil yang aman. Karena meskipun berdiri di bawah terik matahari dengan kostum dan hanya berharap dari uang "seikhlasnya", mereka tetap hadir. Tidak sekadar mencari nafkah, tapi juga menjalankan peran sosial yang jarang dihargai: menjaga sejarah agar tetap dikenal.Pekerjaan ini bisa dikembangkan lebih lanjut. Dengan dukungan kebijakan, para cosplay sejarah ini dapat dijadikan mitra resmi dalam promosi wisata edukatif. Pemerintah daerah dapat membuat pelatihan singkat mengenai sejarah tokoh nasional, memberikan fasilitas tempat tampil yang rapi dan aman, serta membangun kemitraan dengan komunitas sejarah dan institusi pendidikan. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pekerja jalanan, tetapi juga duta sejarah yang sah, profesional, dan diakui. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun