Salah kaprah inilah yang membuat pasangan muda merasa malu untuk sekadar mencari informasi dari orang yang lebih tua, atau bahkan membahasnya secara terbuka di hadapan keluarga masing-masing.
Padahal, pasangan yang hendak menikah perlu diberikan dukungan dan edukasi mengenai pra-nikah, kehidupan pernikahan, dan/atau setelah pernikahan itu berakhir.
Perjanjian pranikah mengakomodasi semua bentuk dukungan sehingga tidak membebankan pihak manapun begitu janur kuning melengkung. Perjanjian tertulis ini menuangkan secara jelas hal-hal yang selama ini dianggap tabu di benak masyarakat.
Sebelum membuat perjanjian pranikah, pasangan yang open minded pasti telah mendiskusikan banyak hal yang pantas dan tidak pantas untuk dicatat dalam perjanjian ini.
Di dalam isi perjanjian pranikah, pasangan secara terbuka menyebutkan tanggungan atau pembiayaan yang sedang berjalan. Hal ini penting guna mengantisipasi krisis ekonomi paska resepsi.
Euforia pada pesta pernikahan akan mengaburkan sejenak pikiran kita, bahwa kita masih memiliki cicilan berjalan yang harus menjadi prioritas keuangan di keluarga baru.
Menyikapi hal tersebut, perjanjian pranikah ini mengikat orang yang masih memiliki utang dari masa lajangnya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya.
Menikah memang tentang berbagi, tapi bukan untuk berbagi utang!
Selanjutnya, perjanjian pranikah juga mengatur tentang hal-hal yang menjadi batas toleransi setiap pasangan. Apabila bahtera rumah-tangga mulai goyah diterpa angin, setiap pasangan harus siap menerima konsekuensi yang terikat dalam perjanjian itu. Hal ini berlaku bilamana tidak ada jalan lain untuk mengembalikan kedua insan pada marwah perkawinannya.
Perjanjian pranikah membuat pasangan suami-istri berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya, agar tidak memicu perselisihan yang membuat kisah keduanya harus berakhir.