Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaknai Kebajikan Seiring Perubahan Zaman

11 Agustus 2022   14:30 Diperbarui: 11 Agustus 2022   14:33 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
charleshbest.com/ndam

Di penghujung Blog Competition yang diselenggarakan oleh Mettasik dan Maybank Finance dengan mengusung topik "Perubahan Itu Pasti Kebajikan Harga Mati", izinkanlah saya membagikan cerita ketiga dalam kompetisi ini.

Saya tertarik mengikuti perhelatan ini bukan semata karena hadiah yang dijanjikan. Akan tetapi karena tema besar tentang dua hal yang saling bertentangan, yakni "perubahan" dan "kebajikan" dapat membuat saya pribadi terperangah ketika membaca tulisan dari teman-teman Kompasianer.

Kebajikan, barangkali topik yang mudah dan sehari-hari kita rasakan. Entah kita atau orang lain yang melakukannya. Topik ini menjadi menarik karena diilhami dari sudut pandang yang tidak biasa yang dibagikan rekan-rekan pada Blog Competition ini. 

Sehingga mengalirlah cerita ketiga dari saya. Semoga dapat menginspirasi kita semua untuk terus melakukan kebaikan tanpa pamrih.

***

Bertahan hidup di era serba instan ini bukanlah hal yang mudah. Setiap hari, kita merasakan perubahan yang begitu dinamis. Entah itu di layar kaca, di jalan raya, di jagat maya, dimana pun tempat manusia berinteraksi. Di situ ada perubahan.

Bagi kalangan milenial seperti saya, menghadapi perubahan teknikal semacam rekayasa arus lalu lintas, amat begitu berarti. Hari yang saya lalui dapat berubah menjadi berantakan hanya karena ada perbaikan jalan. Adanya hal-hal di luar kendali kita yang sepersekian detik bisa berubah, itulah yang mampu memunculkan emosi. Bahkan ketika emosi itu justru tidak tersampaikan pada objek yang membuat kita kesal.

Kita semua mafhum, misalnya sebuah kecelakaan yang tiba-tiba terjadi di persimpangan jalan dapat menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Akibatnya, kita jadi terlambat masuk kerja atau terlambat ke kampus. Padahal kalau kita uraikan penyebabnya, kecelakaan lalu lintas dapat terjadi, salah satunya akibat kelalaian. Bisa jadi karena terburu-buru mengejar jam masuk kantor, seseorang lalai untuk memperhatikan traffic light. Dari kelalaian saja, sudah dapat kita pastikan dampak yang ditimbulkan.

Sekali lagi, era modern yang menawarkan hidup "praktis" justru membuat setiap orang makin menampakkan citra kebinatangannya pada momen tertentu. Kembali lagi menyoal lampu lalu lintas di persimpangan jalan. Bagaimana sikapmu ketika sedang membawa kendaraan dan dipaksa berhenti karena lampu memberikan sinyal "merah"?

Tentu saja bosan, karena biasanya traffic light tidak hanya berdiri sendirian untuk mengatur lalu lintas. Paling tidak ada tiga lampu lalu lintas yang dipasang pada satu pertigaan. Jika jarak tempuh kita ke kantor melewati tiga pertigaan saja, misalnya, butuh waktu berapa menit untuk berdiam diri menunggu sampai lampu menunjukkan warna "hijau"?

Itulah yang saya maksud dengan citra kebinatangan. Setiap orang menjadi gusar begitu dihadapkan pada lampu merah. Begitu lampu memberikan sinyal "hati-hati", bukankah kita sudah menerobos dan tidak lagi memperhatikan apakah lampu itu akan berubah hijau?

Lantas, inilah yang saya sebut "bertahan hidup". Kita yang ditakdirkan mengisi zaman paska internet ditemukan, harus berkali-kali diuji dengan perubahan disana-sini. Akhirnya, hanya pemenang sejatilah yang dapat bertahan!

Tetapi, arti dari kata "menang" itu sendiri saja sudah rancu. Bagaimana memaknai istilah "menang", ketika setiap orang dapat membeli mobil, punya rumah, bahkan dapat memberikan pengaruh bagi masyarakat secara instan?

Kita telusuri kembali memori pada perhelatan pemilu, misalnya. Apakah kita sebelumnya memiliki kedekatan dengan calon yang maju ke gelanggang politik, sehingga dengan sukarelanya kita mempercayai orang-orang tersebut untuk "memimpin"? Apakah kinerja orang-orang tersebut sesuai dengan kualifikasi yang kita cari sebagai "pemimpin"?

Oh, belum tentu.

Tetapi, kecanggihan media saat ini dapat memberikan manuver bagi mereka yang ingin "menang" di hati rakyat. Tidak perlu lagi mengunjungi tiap dusun untuk meminta doa-restu dari tokoh yang dituakan di sana. Keberadaan sosial media dapat mempersingkat sarana untuk "mengenalkan" para calon politik hanya dengan satu klik!

Derasnya arus informasi di kanal media membuat kita tanpa berpikir panjang untuk turut melakukan reaksi sebagai bentuk tanggapan kita. Fenomena ini secara psikologis muncul, sebagai bentuk aktualisasi diri di jagat maya. Setiap hari kita bersentuhan dengan tagline "like", "comment", dan "subscribe". Membuat jempol kita seakan gatal untuk memberikan reaksi setelah melihat konten tertentu.

Apapun jenis kontennya, apabila isi dari konten tersebut dapat menarik-ulur emosi, membuat kita tersedu-sedan, bahkan tertawa terpingkal-pingkal, maka akan kita berikan respon yang menandakan bahwa "saya juga nonton loh". Respon yang kita bagikan di dunia virtual akan terekam oleh fitur kecerdasan buatan, dan akhirnya memunculkan kembali konten yang serupa untuk kita konsumsi. Begitu berulang-ulang hingga kita mengganti ketertarikan atau mencari jenis informasi yang lain.

Setiap perubahan pasti membawa dua dampak, yakni dampak positif dan dampak negatif. Tentu saja kehidupan kita terbantu dengan adanya sosial media dan AI (Artificial Intelligence) yang disisipkan pada aplikasi maya yang sering kita gunakan. Kita merasa senang ketika ponsel kita dapat mengukur jarak tempuh yang berhasil kita lalui saat bersepeda. Kita merasa senang ketika dapat berbagi kabar melalui video call dengan kerabat yang jauh. Itulah dampak positifnya.

Tetapi, di balik semua keceriaan dan kebahagiaan itu, ada cerita tentang perundungan di sosial media. Ada tipu-daya yang dilancarkan oleh oknum dengan meminjam "akun" orang lain. Ada pelecehan dan pemerasan di dunia virtual. Ada kebohongan seseorang yang dapat diendus dari jejak digital. Ada lebih banyak bahaya terjadi dari setiap perubahan yang muncul.

Mendapati fenomena yang mengerikan ini, tak jarang saya memutar kembali memori masa kecil. Zaman saya pada saat itu, internet belum menjangkau desa. Bahkan orang-orang kota masih membeli pulsa untuk sekadar bertukar kabar dengan keluarganya di kampung.

Setiap hari, kita perlu menyalakan TV agar mendapatkan informasi terbaru. Sebuah upaya memperkaya wawasan yang kuno menurut orang di zaman digital. Kita perlu menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk dapat ke sekolah. Suatu usaha yang penuh risiko, yang akan dianggap biasa oleh orang-orang yang berpindah tempat mengandalkan transportasi online.

Saat itu, di awal tahun 2000-an, setiap anak mendengarkan dengan seksama petuah dari orangtuanya. Meski petuah itu lebih banyak didominasi sabetan sapu lidi dan jari telunjuk yang mengacung kesana-kemari. Saya, sebagai generasi akhir 90-an tidak berani menatap langsung kedua orangtua saya ketika memberikan nasehat. Saya hanya menunduk dan menjawab sepatah-dua patah kata saja sebagai respon kalau saya memahami amarah mereka.

Bagaimana dengan anak-anak sekarang? Masih takzimkah mereka ketika orangtuanya marah?

Tentunya fenomena ini dapat kita saksikan di sosial media. Bagaimana setiap orangtua dan praktisi berlomba-lomba memberikan edukasi mengenai "parenting" dan "mental health". Artinya, sesuatu sedang tidak baik-baik saja meskipun koneksi internet lancar.

Anak-anak yang tumbuh di zaman sekarang tidak dapat dibesarkan dengan cara-cara lawas seperti menggebrak meja atau mencubit paha. Mereka menganggap itu adalah kekerasan, sebagaimana saya pada waktu kecil menganggap "treatment" semacam itu merupakan "peringatan" untuk sesuatu yang amat berbahaya dan tidak boleh saya lakukan lagi.

Akhirnya, orangtua di zaman now sibuk merevisi "apa yang boleh" dan "apa yang tidak boleh" dilakukan dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai orangtua, seseorang harus belajar kembali cara memahami bahasa anak dan bagaimana harus menanggapi mereka, alih-alih mendapatkan kuasa penuh untuk memberikan ultimatum saat anak keliru.

Itu tadi tentang pergeseran makna "menjadi orangtua". Belum lagi konten-konten digital yang seolah memperlihatkan "sisi baik" manusia antar sesamanya. Kanal media digital penuh dengan aksi baik begitu pandemi mewabah. Berbagai kegiatan sosial tumpang-tindih untuk mencitrakan "kebaikan" yang disalurkan dalam bentuk konten.

Setiap satu orang yang dapat terpengaruh oleh aksi kemanusiaan yang dilakukannya, akan mengundang lebih banyak orang lagi untuk "melihat" video-video kebajikannya. Reaksi itulah yang dimanfaatkan para kreator untuk membuat lebih banyak lagi konten kebaikan. Karena di balik sekotak nasi yang disalurkan, timbul puluhan adsense yang mengalirkan pundi-pundi kekayaan bagi si pemilik konten. Apakah hal itu sepadan?

Begitulah perubahan zaman terjadi, kebajikan semakin sulit untuk terlihat natural karena setiap orang dapat memberikan "suplemen" agar aksi kemanusiaannya dapat dinilai baik oleh publik. Lantas, bagaimana manusia di era modern dapat memaknai setiap kebajikan?

Apakah kebajikan berarti mendahulukan kepentingan diri sendiri?

Apakah kebajikan itu tentang menyingkirkan adab demi meluruskan yang keliru?

Apakah kebajikan dilakukan untuk tayangan semata?

Cerita ini tentang kita semua.

Hanya hati kecil kita yang dapat mengetahui, apakah kebajikan yang kita lakukan tulus untuk membantu atau sekadar modus untuk menipu?

Zaman sudah berubah, apakah makna kebajikan masih tetap sama?

***

Bagikan jika dirasa bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun