Di tengah gemerlapnya perkembangan kota, terdapat sejumlah bangunan yang berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjalanan sejarah. Salah satu bangunan yang memancarkan pesona sejarah adalah rumah tua yang terletak di Jalan Kolonel Sugiri. Rumah ini tidak hanya sekadar struktur fisik yang berusia tua, tetapi juga merupakan simbol dari sejarah panjang yang telah terbentuk di kota ini.
Jalan Kolonel Sugiri sendiri merupakan salah satu jalan yang menjadi saksi sejarah penting, di mana rumah tua ini berdiri. Nama jalan ini sendiri mengingatkan kita pada sosok kolonel yang berperan dalam perkembangan wilayah ini. Rumah tua tersebut, dengan desain arsitektur yang khas, mencerminkan gaya hidup masyarakat pada masa kolonial dan awal kemerdekaan, memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat pada waktu itu berinteraksi dengan ruang, waktu, dan kekuasaan. Keberadaannya yang masih bertahan hingga kini menjadi bukti konkret dari pengaruh sejarah yang terus hidup, meskipun dalam bentuk yang tersembunyi.
Pernahkah kamu membayangkan sebuah rumah tua yang tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga menyimpan cerita sejarah yang panjang? Di Purwokerto, tepatnya di Jalan Kolonel Sugiri, berdiri sebuah rumah tua yang memikat perhatian siapa saja yang melintas. Rumah ini bukan sekadar bangunan tua biasa. Ia adalah saksi bisu perjalanan waktu, dari era ketika jalan ini masih bernama Jalan Cikebrok, hingga kini menjadi salah satu kawasan penting di kota Purwokerto.
Lokasi rumah ini sangat strategis, berada di depan Sekolah Luar Biasa (SLB) Yakut Purwokerto. Namun, daya tarik sebenarnya terletak pada sejarah dan keunikan yang dimiliki rumah tersebut. Rumah tua ini, menurut pemiliknya saat ini, drg Ibu Yulistiatri Dartoyo, dibeli keluarganya dari seorang warga Tionghoa pada tahun 1946. Namun, ia menduga bahwa rumah ini telah ada jauh sebelumnya. “Kayaknya rumah ini pertama kali dibangun tahun 1000-an,” ujar beliau sambil mengenang cerita yang diwariskan keluarganya.
Sejak pandangan pertama, rumah ini sudah memancarkan nuansa masa lalu yang kuat. Dengan plafon yang tinggi, pintu dan jendela minimalis, serta bata-bata lebar yang membangun dindingnya, rumah ini memberikan kesan megah sekaligus sederhana. Menurut ibu drg.Yulistriatri Dartoyo, plafon tinggi rumah ini dirancang untuk memberikan sirkulasi udara yang baik. Hasilnya, meskipun tanpa pendingin udara modern, rumah ini tetap terasa sejuk. Sementara itu, desain pintu dan jendela yang minimalis namun kokoh mencerminkan gaya arsitektur tradisional yang mementingkan fungsionalitas tanpa mengorbankan estetika. “Bata-bata yang digunakan untuk membangun rumah ini sangat lebar dan kuat, berbeda dengan bata modern. Saya kira itulah yang membuat rumah ini tetap kokoh hingga sekarang,” jelasnya. Elemen-elemen ini tidak hanya membuat rumah ini istimewa, tetapi juga menjadi pengingat akan kualitas bangunan zaman dahulu yang mampu bertahan melintasi waktu.
Ketika melangkah ke dalam rumah, suasana nostalgia langsung menyelimuti. Dinding-dinding rumah dipenuhi dengan foto-foto keluarga yang tertata rapi, menjadi penanda bahwa rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat menyimpan kenangan lintas generasi. Selain itu, rumah ini juga dipenuhi dengan berbagai barang antik yang menguatkan nuansa tradisionalnya. Barang-barang ini, menurut beliau,barang itu dikumpulkan oleh ibu nya yang memiliki kegemaran mengoleksi benda-benda zaman dulu. “Di dalam rumah ini, ada mesin jahit kuno yang nama nya singer, ranjang tidur era 1940-an, hingga sofa zaman dulu yang masih asli.
“Bahkan peralatan dapur dan tempat makan masih mempertahankan desain tradisional dari zaman dulu,” ungkap beliau. Koleksi-koleksi ini tidak hanya menjadi pajangan, tetapi juga bukti kehidupan keluarga pada masa lalu yang masih terawat hingga kini. Barang-barang tersebut tidak hanya menunjukkan selera estetika keluarga, tetapi juga menjadi simbol keterampilan dan tradisi. Misalnya, mesin jahit kuno di rumah ini mengingatkan pada peran penting perempuan dalam mendukung ekonomi keluarga pada masa itu.
Di belakang rumah, terdapat sebuah sumur tua yang hingga kini masih digunakan. Sumur ini, dengan dinding batunya yang berlumut, seolah menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini. Sumur ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber air, tetapi juga menjadi simbol ketahanan rumah tua ini di tengah perubahan zaman. Di samping sumur, terdapat taman kecil yang dulunya merupakan kebun palawija. Kini, taman tersebut dirawat dengan baik oleh beliau. Taman ini memberikan nuansa asri dan menenangkan, seolah menjadi penyeimbang antara tradisi masa lalu dengan kehidupan modern. “Taman ini dulunya kebun palawija. Saya coba rawat agar tetap asri dan bisa menjadi tempat yang nyaman di rumah ini,” tuturnya.
Keunikan rumah tua ini tidak hanya terletak pada bangunan dan koleksinya, tetapi juga pada garis keturunan pemiliknya. Ibu Yulistiatri adalah seorang dokter gigi yang memiliki silsilah keluarga yang luar biasa. Ia adalah keturunan dari Aria Wirjaatmadja, pendiri Bank Rakyat Indonesia (BRI). Selain itu, keluarga besar beliau juga memiliki hubungan kekerabatan dengan kakek Prabowo Subianto, salah satu tokoh penting di Indonesia. Meskipun hubungan ini disebut “masih ada keawu-annya” , hubungan saudara sepupu dengan Patih Aria Wiraatmadja , fakta ini tetap menambah daya tarik rumah tua ini sebagai bagian dari sejarah keluarga besar yang berpengaruh.