Mohon tunggu...
siti fathya
siti fathya Mohon Tunggu... mahasiswa

saya suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

IKN dan Persoalan Agraria: Antara Kepentingan Nasional dan Hak Masyarakat Adat

7 Oktober 2025   08:42 Diperbarui: 7 Oktober 2025   08:41 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi salah satu proyek strategis nasional terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Proyek ini diharapkan menjadi simbol pemerataan pembangunan, mengurangi beban Pulau Jawa, dan menciptakan pusat pemerintahan yang lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Namun, di balik visi besar tersebut, muncul persoalan mendasar yang tidak dapat diabaikan, yakni konflik agraria antara kepentingan negara dan hak masyarakat adat yang mendiami wilayah sekitar kawasan pembangunan.

Secara hukum positif, negara memang memiliki hak untuk menguasai tanah bagi kepentingan umum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang memberikan dasar legal bagi pemerintah untuk melakukan pengadaan tanah demi proyek strategis, termasuk pembangunan IKN.

Namun, dalam konteks agraria, kepemilikan tanah di Indonesia tidak semata-mata bersumber dari hukum negara. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 3, diakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat, selama dalam kenyataannya masih ada dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional serta peraturan perundang-undangan. Artinya, secara konstitusional dan yuridis, keberadaan hak ulayat memiliki kedudukan yang sah dan harus dihormati.

Masalahnya muncul ketika implementasi hukum di lapangan tidak selalu berjalan selaras dengan prinsip keadilan tersebut. Dalam praktik pembangunan IKN, terdapat sejumlah wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan pembangunan. Masyarakat adat Dayak dan kelompok lokal lainnya mengaku bahwa sebagian tanah ulayat mereka digunakan tanpa mekanisme musyawarah yang memadai. Proses konsultasi publik sering kali bersifat formalitas, sementara substansi keadilan partisipatifnya belum benar-benar terpenuhi.

Konflik agraria yang terjadi bukan sekadar persoalan administratif mengenai kepemilikan tanah, tetapi juga menyentuh aspek yang lebih mendalam — hak asasi manusia, keberlanjutan sosial, dan identitas budaya. Bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya aset ekonomi, melainkan bagian integral dari kehidupan sosial, spiritual, dan budaya mereka. Tanah adalah ruang hidup tempat mereka menjalankan tradisi, mencari nafkah, dan mempertahankan eksistensi. Hilangnya tanah berarti hilangnya kedaulatan, hilangnya jati diri, dan bahkan ancaman terhadap kelangsungan budaya lokal.

Dari perspektif hukum agraria, pembangunan IKN seharusnya mematuhi sejumlah asas penting yang diatur dalam UUPA dan doktrin hukum agraria nasional, antara lain:
1.Asas Fungsi Sosial Tanah, di mana pemanfaatan tanah tidak boleh hanya didasarkan pada nilai ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan fungsi sosial, budaya, dan ekologisnya.
2.Asas Keadilan, yang menuntut agar pembangunan tidak menimbulkan ketimpangan baru dan tidak memarginalkan kelompok rentan, termasuk masyarakat adat.
3.Asas Keberlanjutan (Sustainability), agar penggunaan sumber daya agraria tidak mengorbankan hak generasi mendatang.
4.Asas Musyawarah dan Partisipasi, yang mewajibkan pemerintah melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait tanah.

Apabila asas-asas ini tidak dijalankan secara konsisten, maka pembangunan yang seharusnya menjadi sarana kesejahteraan justru berpotensi melahirkan ketidakadilan struktural dan konflik horizontal di masyarakat.

Dari sisi teori hukum, konflik agraria di IKN mencerminkan benturan antara dua paradigma besar: hukum negara (state law) yang menekankan kepentingan umum dan efisiensi, serta hukum adat (living law) yang berakar pada nilai-nilai lokal dan spiritualitas masyarakat. Dalam konteks negara hukum Pancasila, seharusnya kedua sistem ini tidak saling meniadakan, tetapi saling melengkapi. Pancasila menempatkan keadilan sosial sebagai prinsip utama, sehingga kebijakan pembangunan nasional semestinya dijalankan tanpa mengorbankan hak kelompok minoritas.

Untuk mengatasi konflik ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga keadilan restoratif dan kultural. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil antara lain:
•Melibatkan masyarakat adat secara aktif sejak tahap perencanaan dan penetapan lokasi pembangunan.
•Memberikan kompensasi yang adil dan sesuai kebutuhan sosial budaya masyarakat, bukan sekadar ganti rugi material.
•Menjamin keberlangsungan kehidupan sosial dan spiritual masyarakat melalui pengakuan formal terhadap tanah pengganti atau wilayah kelola adat baru.
•Membuat regulasi turunan dari UUPA dan UU IKN yang secara eksplisit menjamin perlindungan hak ulayat di wilayah pembangunan.
•Mengintegrasikan prinsip “Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)” sebagaimana diatur dalam hukum internasional ke dalam kebijakan nasional, agar masyarakat adat tidak sekadar “diberi tahu”, tetapi benar-benar memiliki hak untuk menyetujui atau menolak suatu proyek di wilayahnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, pembangunan IKN tidak hanya sah secara hukum positif, tetapi juga memperoleh legitimasi moral dan sosial. Karena sejatinya, pembangunan yang baik bukan hanya tentang mendirikan gedung pemerintahan baru, melainkan membangun rasa keadilan bagi seluruh warga negara.

Pembangunan yang menyingkirkan masyarakat adat akan menciptakan luka sosial jangka panjang. Sebaliknya, pembangunan yang menghormati hukum adat akan memperkuat kepercayaan publik terhadap negara dan menegaskan bahwa hukum benar-benar hadir untuk mengayomi semua golongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun