Mohon tunggu...
Humaniora

Menjadi Konselor? Saya Juga Pernah

8 April 2019   08:43 Diperbarui: 8 April 2019   09:09 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membahas masa lalu memang banyak sekali pengalaman yang bisa diceritakan kembali, diambil hikmahnya, dan dijadikan pelajaran hidup. Nah, kali ini saya akan bercerita tentang salah satu pengalaman masa lalu yang membuat saya menjadi seorang yang menyukai curhatan teman dibandingkan curhat ke teman.

Waktu masih duduk dibangku SMP kelas VII saya tergolong anak yang pendiam dan jarang berbicara, kalo kata teman-teman saya dulu jutek. Berawal dari pendiamnya saya, selang beberapa minggu setelah hari pertama masuk SMP saya mulai mengenal teman-teman baru. Mereka berasal dari berbagai macam kalangan dan berbagai macam karakter. 

Tapi yang paling saya ingat adalah teman saya sebut saja "tutu", tutu ini anaknya seru, suka cerita atau bahkan curhat kepada saya, hampir setiap pengalamannya diceritakan kepada saya. 

Karena kita duduk berdua otomatis setiap hari bersma-sama, kekantin sama-sama kemanapun sama-sama. Dari hal itulah saya terbiasa mendengarkann cerita, keluhan, curhatan, dan bagi saya itu menyenangkan. 

Setelah satu tahun di kelas VII bersama tutu saya mulai memahami dan mengerti tentang ekspresi tutu saat dia bercerita. Seperti saat dia bahagia kedua alisnya terangkat dengan senyum yang juga terangkat, dan saat dia sedih alisnya cenderung datar menurun dengan mata yang juga seperti layu. 

Dari pengalaman itu saya sedikit bisa memahami ekspresi seseorang entah itu benar atau salah dalam ilmu psikologi, tapi itulah persepsi saya.

Berkat tutu saya senang mendengarkan curhatan orang lain, bahkan sampai mereka meminta pendapat saya tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya, dan dengan polosnya saya menjawab pertanyaan mereka juga dengan jawaban yang saya sesuaikan dengan perasaan mereka, seperti memposisikan diri saya bila berada diposisi mereka. Terkesan sok tau tapi mereka senang dengan jawaban saya, mereka cukup terbantu dengan hal itu.

Lalu saat kuliah saya mendapatkan mata kuliah BK dan ada yang mempelajari mengenai Strategi dan Intervensi Bimbingan Konseling, dari materi tersebut saya akhirnya mengerti bahwa dalam BK mendengarkan cerita orang, memberikan saran jika di BK hal itu biasa disebut Konselor. 

Sedangkan yang sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya bila di BK biasa disebut Klien, tapi bukan berarti saat saya menceritakan cerita masa SMP, saya disebut sebagai Konselor seperti dalam BK. 

Karena dalam BK seorang konselor memiliki karakteristik, antara lain yaitu pengalaman memberi bantuan, memiliki konsep diri, mempunyai sikap yang profesional, pengalaman interpesonall, dan kesadaran diri yang dapat memengaruhi perkembangan hubungan dengan klien.

Dari hal itu saya sempat berfikir bahwa saat itu saya menjadi seorang Konselor hanya saja dalam hal mendengarkan dan memberi saran pada curhatan teman bukan pada klien yang bermasalah dengan keadaan psikologisnya, karena memang curhatan teman saya hanya sekedar curhatan anak SMP yang masih labil dengan dirinya sendiri, sedangkan yang mendengarkan juga masih anak SMP yang juga sama-sama labil. Jadi, bisa tidak saya disebut Konselor saat itu? 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun