"Habis dari mana, Pak?"
"Biasa, Bu, dari atas."
"Gimana kemarin panennya?"
"Ya gitu lah, kayak biasa." Aku mengulas sedikit senyuman. Lantas segera meninggalkannya dengan isi kepala yang masih saja penuh sedari tadi. Kupacu motor tuaku dengan kecepatan lambat. Menikmati suasana sore di kampungku yang terasa sangat menenangkan: anginnya sejuk dan udaranya masih sangat bersih.
Beberapa hari lalu aku memang baru saja panen di sawah. Hasilnya lumayan banyak, tapi sayangnya sejak setahun lalu, aku harus memberikan dua kwintal padi yang kupanen kepada Pak Sarwita--orang yang memberiku pinjaman uang. Orang-orang di kampungku menyebutnya dengan gade gowah. Kewajibanku memberikan padi kepada Pak Sarwita akan selesai ketika aku melunasi hutangku kepadanya. Sebenarnya berat juga kalau setiap habis panen harus seperti ini, tapi mau bagaimana lagi. Saat itu aku sedang butuh cukup banyak uang untuk Sintia--anak pertamaku--yang akan masuk SMA dan untuk modal bertani lagi karena pada saat itu padiku gagal panen.
Bekerja menjadi petani memang sangat berat. Pekerjaannya tentu saja berat, tapi penghasilannya seringkali membuat kami hampir sekarat. Belum lagi biaya hidup yang kian hari kian mahal. Jika dipikir-pikir, ini sangat lah sulit. Tapi, ya begini lah adanya, untungnya Tuhan Maha Baik. Dalam setiap kesulitan, Dia pasti selalu memberikan jalan keluar. Bagi orang sepertiku, menjadi petani tentu bukan lah sebuah pilihan yang sengaja kupilih, terlebih sebuah panggilan jiwa. Tidak. Omong kosong. Ini adalah caraku untuk terus bertahan hidup. Ketika tak punya pilihan, maka apa lagi yang bisa kukerjakan selain bertani?
"Kok ngelamun, Nyi? Ada apa?" Istriku sedang duduk di depan tungku. Matanya tampak kosong menatap api yang sedang menyala di depannya. Wajahnya kusam, dia tampak lebih tua dari usianya. Tapi, bagaimana pun aku tetap mencintainya. Aku banyak sekali dosa padanya. Seumur-umur menikah, rasa-rasanya aku belum pernah menyenangkannya secara materi. Yang selalu kuberikan padanya hanya lah tumpukan beban dan penderitaan yang seakan tiada habisnya.
Aku merangkul pundaknya, lantas mendekapnya dengan perasaan pilu yang menggerogoti dadaku. "Tadi ada petugas bank ke rumah. Nagih, tapi Nyi gak punya uang. Katanya, uangnya harus ada nanti malem."
Aku menghela napas panjang. Memandangi tumpukan kayu yang tersusun rapi di atas tungku. "Kita masih punya ayam, 'kan, Nyi? Dijual dulu aja, ya."
"Iya, tapi Akang aja, ya, yang ngejualnya. Nyi capek banget."
Sementara di ruang tamu, Sintia sedang beres-beres, tapi Ningrum--adiknya--malah terus memasang wajah cemberut. Aku tahu sekali dia kenapa. Anak itu sedang marah karena keinginannya untuk punya ponsel dan motor bagus belum juga aku turuti. Dan sepertinya karena hal itu juga yang membuat wajah istriku dilanda mendung sore ini. Aduh, Nak, bukannya Bapa tak ingin menyenangkanmu, tapi untuk memenuhi kebutuhan pokok kita saja Bapa sudah kewalahan. Tapi, Nak, jangan pernah berkecil hati, doakan saja moga Bapa lekas dianugerahi kehidupan yang lebih baik.