Kembali soal rivalitas, kisah persaingan saya dengan kakak-kakak lebih pada prestasi akademik dan ekstrakulikuler. Kakak perempuan pertama kami, Niken, berprestasi di bidang olahraga, seni dan kuliner. Jago main volley dan tenis.Â
Aktif di perkumpulan seni remaja, dan jago masak karena selalu membantu Ibu di setiap acara masak-memasak. Bahkan sampai sekarang, beliau diakui oleh keluarga besar dan lingkungan kawan-kawannya akan masakannya yang enak.Â
Mbak Asti, selain prestasi akademik yang selalu lima besar di sekolah, kegiatan ekskul di sekolah juga cukup lumayan dan diakui oleh para guru. Pengalamannya yang mudah bersosialisasi, membuatnya mudah diterima disegenap kalangan. Menjadi guru adalah pilihannya. Tak heran, rumah kakak saya takpernah sepi dari kunjungan murid-murid, sesama guru, kolega dan pertemanan komunitasnya.
Mbak Ida, mungkin karena sudah kenyang jua melihat prestasi kedua kakaknya, dengan sungguh-sungguh berupaya dengan kemampuannya bahwa ia pun bisa menorehkan prestasi.Â
Hampir selalu rangking satu, tentu menjadi kebanggaan orangtua. Bahkan beliau masuk perguruan tinggi tanpa tes berkat prestasi akademik maupun ekskul. Dengan modal itulah, hingga kini eksis dengan kegiatannya di lingkungan pengajian.
Nah, jadilah saya sebagai anak bungsu yang kenyang pula dibanding-bandingkan dengan ketiga kakak tersebut. Hal lumrah yang saya terima dari Ibu. Saya makin menguatkan diri berupaya untuk membuktikan kepada orangtua bahwa saya pun bisa berprestasi.
Meski belum paham ilmu parenting pada masa-masa itu, saya berusaha mengerti bahwa orangtua bermaksud baik ketika 'membandingkan' anak satu dengan yang lain adalah untuk memberikan motivasi dan contoh yang baik agar saya bisa meraih prestasi seperti mereka, terserah dengan jalur bakat dan minat yang saya miliki. Berpikir positif saja lah saya nih, hehehe.
***
Rivalitas itulah memacu andrenalin saya saat remaja.
Apalagi sejak ayah meninggal, biaya pendidikan saya juga dibantu oleh kakak-kakak dan paman. Sebisa dan semampu saya, berusaha memberikan prestasi yang terbaik. Bersyukur, saya tidak mengecewakan mereka hingga menyelesaikan pendidikan sarjana.
Bagi saya, 'persaingan' yang ada itu menjadi motivasi positif, beban yang ada disalurkan menjadi energi baik untuk melakukan hal-hal kreatif. Saya yakin, tercapainya semua kesuksesan tersebut juga aliran dari doa orangtua dan kakak saya yang tiada terputus.
Serunya kisruh dengan kakak dan keponakan, kadang bikin kangen! Toh, cuma ribut dan rame mulut doang, karena dendam dan benci, takada dalam kamus keluarga kami.Â
Paribasane: mangan ora mangan asal kumpul. Tetep ae penak ngumpul nyambi mangan-mangan, sih! setuju kan, lur?*)
***
*)peribahasanya: makan enggak makan asal berkumpul. Tetap saja enak berkumpul sembari makan-makan, sih! Setuju kan, saudara?