Dari balik jendela yang pecah kaca. Ia layangkan pandangan sejauh mungkin, yang sepenuhnya serupa bentang lamunan. Ia tergeming di jendela yang dipenuhi ukir jaring laba-laba.
Dirinya memang seorang bocah. Tetapi, alam pikirnya melebihi anak-anak seusia. Ia begitu cepat tanggap. Bahkan, tak tanggung-tanggung menghafal tiap kalimat dari dongeng yang ditumbuhkan ibunya di tepian malam. Mahluk ajaib, kerap disematkan pada dirinya.
“Diriku laksana seekor burung gereja yang murung. Sial nian hari ini. Daku terkungkung. Tatkala, hujan begitu bergeliat berdendang di taman, membikin mawar bersorak-sorai,” gadis mungil itu membanti.
Andai saja, demam tak memeluk tubuhnya, sedari malam. Barangkali, saat ini, payung jingganya begitu basah, tangan mungilnya dipenuhi becek, ataupun menari bertelanjang tubuh, begitu kuyup di bawah kolong langit, yang ditumpahi hujan.
Bocah itu kembali mengingat perkatan guru mengajinya, di suatu sore: Bahwa, langit memang penyampai pesan yang baik. Toh, setumpuk awan yang berarak tebal kehitaman, menggeliat menupahi bulir berkah yang hijau di atas jidat bumi. Rindu sang langit pada kekasihnya bumi, terbayar lunas. Di sana-sini akar tumbuhan bersorak-sorai. Kendati begitu ringkih, ia masih membisu di jendela itu.
Di ambang pintu kamar. Langkah kaki perempuan paruh baya begitu pelan, nyaris tak terdengar bunyi telapak kakinya sendiri. Apalagi, kala itu hujan masih memeluk bumi. Semakin mendekat, tangan yang kerap teriris pisau dapur, lepas dari badan. Sedikit kepayahan, tatkala merengkuh bocah mungil itu dalam dekapannya. Hangat terasa. Dingin yang sedari tadi membungkus tubuh bocah itu, terusir seketika.
“Gerangan apa yang merisaukan pikiranmu, Nak?” tanya Jusna. Ia memang kerap menggunakan bahasa yang indah, tatkala berucap, meskipun dengan anaknya yang mungil itu. Dengan lembut mendekap, sembari menatap buah hatinya dalam-dalam.
Lamat-lamat, Ulfa bertenaga memungut pandangan yang sedari tadi kesasar di negeri antah-berantah. Kini mereka saling bertatap-tatapan. Jusna menangkap guratan keseriusan bergelantung di wajah mungil anaknya.
Sekoyong-koyong, Ulfa menjatuhkan sebuah tanya, separah hujan di luar. “Kenapa harus hujan, Bu? Siapa yang menjatuhkan hujan ini, Bu?” di penghujung tukasnya, matanya membelalak. Barangkali, bukan hal baru, Jusna begitu sontak dibuat kaget. Tanya Ulfa, kerap membikin pusing kepala. Bahkan, bolehjadi hilang selera makannya sepekan. “barangkali sejak dalam kandungan, Ulfa sudah menghimpun tanya serupa?” ia membatin.
Hal yang berbeda, ditampakan Muhajir, suaminya. Ia tak begitu tertarik dengan tiap tanya yang disodorkan Ulfa. Muhajir tak tanggung-tanggung memuaskan tangannya yang kekar serupa beduk, menutupi lesung pipi Ulfa.
Ingatan Jusna begitu perawan. Tatkala, Ulfa berusia empat tahun lima bulan, ia sudah memiliki gagasan tentang “kenapa Ulfa harus tidur? Kenapa Ulfa dilarang bermain? Atau, ia disuruh pergi mengaji, namun kewalahan mengeja huruf Hijaiah, “kenapa Alquran tulisannya bahasa Arab, kenapa bukan bahasa Indonesia saja, Ayah?” Muhajir tak pernah memberikan pejelasan sedikitpun atas tanya Ulfa. Ia hanya menampakan amarah yang akut dari wajahnya kerap merah membakar.