Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bahagia, Inikah yang Dicari?

18 Mei 2020   10:06 Diperbarui: 18 Mei 2020   10:20 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: theconversation.

Apa Anda hidup bahagia? 

Pertanyaan yang mudah dijawab dengan "Ya" bercampur "ragu?" Tergantung, definisi hidup bahagia yang dilekatkan pada maknanya, ujar si penjawab? Semacam teka-teki kehidupan menutupi kepura-puraan daripada berkata jujur: belum bahagia?

Akhir-akhir ini terasa kondisi tubuh yang semakin menua, sakitan. Atau orang yang lebih muda, belum dapat pasangan dan pekerjaan. Yang sudah dapat jodoh dan pekerjaan terasa tidak sesuai dengan idaman dengan gaji kerja minimal? Jiran yang mulai menyebalkan? Pemerintahan yang dianggap tak becus mengurusi rakyat? Bahkan hubunganku dengan diri sendiri cukup bertentangan, semacam perang diri sendiri? Dengan saudara juga, meledak perang saudara? Untunglah ada gencatan senjata sementara.

Itulag jeda daftar riwayat keluhan kita dapat semakin panjang, semacam daftar abjad absen peserta didik atau menu di restoran? Kritikan, keluhan, dan gerutuan menunjukkan betapa malangnya jalan hidup yang kita jalani sekaligus menunjukkan betapa belum bahagianya kita dalam kehidupan.

Saya bukanlah pakar atau motivator hidup bahagia. Saya tidak kekecualian di sini, kadang mengeluh lebih terasa nikmat, padahal laknat? Sebagian orang yang saya kenali ahli dalam memberi nasihat lisan dan tulisan. 

Tetapi, kadang mereka lebih bermasalah daripada orang yang hendak mereka nasihati itu? Ini agak lucu, tetapi kehidupan lebih nyata sebagai realita dibanding omelan dan tulisan ini?

Jadi, kalaulah pembaca budiman sudah merasa hidup bahagia, stop saja membacanya sampai di sini! Tapi, kalau pembaca merasa ada masalah ini dalam diri, mungkin ada baiknya menuntaskan bacaan gratis ini!

Pembaca yang budiman, kalau kita masih mencari definisi bahagia juga menandakan kita belum bahagia. Maka kebahagiaan biasanya didefinisikan orang bijak lebih sebagai sifat dan perilaku orang bijak secara rohani. 

Maksudnya, ketika Anda semakin tawakal, syukur, sabar, ikhlas, tawaduk,  kasih, pemaaf, toleran, dermawan, dan kualitas sifat baik lainnya yang diperbuat. 

Anda dipastikan lebih bahagia dibanding sekadar hanya memenuhi kebutuhan jasmani, makan, minum, senggama, ngumpul uang, mobil, bisnis, rumah, apartemen, investasi, dan sifat material lainnya. Namun, jika Anda tak punya bagian yang terakhir itu, yang bersifat material tampaknya juga hidup cukup derita?

Sepanjang hayat orang berupaya mencari kehidupan bahagia dari pemenuhan jasmani hingga rohani. Anda menatap orang memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, bekerja, social, berjemur di pantai, menyalurkan hobi, pemanjaan tubuh, hingga kuliner dan hiburan, semuanya sebuah cara pencarian kebahagiaan? 

Termasuk, beribadah, pindah agama, pindah kota, pindah pekerjaan, pindah pasangan. Bahkan mereka yang konsumsi Narkoba, Miras, judi, zina, selingkuh, kata mereka mencari ketenangan?

Oleh karena itu, lembaga pendidikan atau pihak sekolah mendaur ulang makna kecerdasan. Di sekolah kita akhirnya bisa membaca, menulis, dan menghitung sesuai dengan kadar masing-masing. Itu prestasi akademik yang cukup berhasil kita peroleh dari sekolah. Kita perlu terima kasih akan hal itu.

Namun, bekalangan orang mulai mencari kecerdasan lain yang perlu dihayati dalam kehidupan. Sampai timbullah istilah kecerdasan majemuk (MI) versi Howard Gardner. Daniel Goleman berupa kecerdasan emosi (EQ), dan Danah Zohar dan Iaan Marshal, kecerdasan spiritual (SQ). Sebelumnya ada ledakan kecerdasan inteligensia (IQ) paska abad pencerahan ilmu pengetahuan.

Bagi, Sthepen R Covey itulah bedanya dulu dengan kini, dulu pencarian orang adalah karakter sedangkan kini kepribadian. Karakter bersifat mendasar sedangkan kepribadian sesuatu yang dilatihkan atau direkayasa secara SMP (sikap mental positif). Maka Covey menawarkan 7 kebiasaan efektif sebagai karakter, bukan kepribadian. Belakangan Covey menyempurnakannya menjadi 8 kebiasaan.

Agar orang bahagia kata Sthepen R Covey perlu mengembangkan setidaknya empat pola dasar kecerdasan ini:

Pertama, kecerdasan fisik (PQ). Untuk ini, setiap orang perlu kebutuhan jasmani atau biologis. Maka secara ekonomis mapan atau pekerjaan, gajilah saya dengan besar.

Kedua, kecerdasan intelektual (IQ). Untuk ini, setiap orang perlu belajar sepanjang hayat, biarkanlah saya belajar dan mengembangkan diri.

Ketiga, kecerdasan emosional (EQ). Untuk ini, setiap orang dapat membina hubungan baik. Intinya, perlakukan saya dengan baik.

Keempat, kecerdasan spiritual (SQ). Untuk ini, setiap orang dapat memberikan sumbangsih dan kontribusinya. Biarkan saya memberikan sumbangsih saya dalam kehidupan atau pekerjaan ini.

Permasalahan dalam dunia industri modern, mungkin Anda digaji besar, tetapi diperlakukan dengan buruk tanpa hormat. Mungkin Anda diperlakuan dengan baik, tetapi digaji murah. 

Barangkali Anda digaji besar dan diperlakukan dengan baik, tetapi tidak pernah diizinkan belajar. Mungkin Anda digaji besar, diperlakukan baik, dan diizinkan belajar, tetapi tidak pernah didengar sumbangsih atau kontribusinya. 

Menurut Sthepen hanya dengan kombinasi empat itulah manusia modern bahagia: gaji dengan besar (PQ, ekonomi), biarkan saya belajar (IQ, pendidikan), perlakukan saya dengan baik (EQ, hubungan), dan terimalah sumbangsih saya (SQ, kontribusi masa depan, warisan jasa agar dikenang, suara hati dan gairah hidup serta tujuan hidup).

Menurut T. Byram Karasu agar orang bahagia dapat melakukan ini: 

Pertama, mencintai diri sendiri dan milik pribadi. Cinta diri yang disebut "narsisme" disalahpahami. Si Narsisus berkaca dalam bayangan dirinya di sungai sampai ia tenggelam. Semacam rasa kagum menatap bayangan dirinya di cermin lalu kena musibah, dalam hal mitos itu: tenggelam dan tewas.

Padahal orang lupa di tempat si narsisus jatuh tumbuh bunga. Semacam transformasi diri atau perubahan bentuk diri yang lebih wangi ketimbang tragedi. Cuma, kebanyakan kita terlanjur mendefinisikan si Narsisus sebagai tragedi dibanding transformasi diri yang lebih wangi dan positif.

Kedua, mencintai orang lain. Sebagian orang hanya bisa mencintai dan tidak bisa dicintai. Yang paling bahagia dapat mencintai dan dicintai.

Ketiga, mencintai pekerjaan. Pekerjaan adalah definisi pribadi dan social. Orang yang tuntas pekerjaannya berarti juga bahagia hidupnya. Sebaliknya, orang tidak memerhatikan pekerjaannya bisa jadi juga kesemrautan hidupnya?

Keempat, mencintai Tuhan. Tuhan harus dipandang lebih pada kualitas sifatnya untuk diamalkan, bukan ilmu perdebatan dengan keberadaan Tuhan dan bentuk-Nya. Misalnya, Tuhan Maha Kasih, orang percaya Tuhan sebaiknya menebarkan kasih, Tuhan Maha Adil, manusia dapat menerapkan keadilan dalam kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun