Saya teringat kisah kocok sufi. Seorang miskin jatuh cinta pada wanita kaya. Lewat perantaraan pembantu si majikan kaya, si miskin menyampaikan gejolak cintanya secara pusitis, berbunga-bunga, dan panjang lebar kepada si pembantu seraya berharap agar disampaikan kepada majikannya. Pendek cerita, si pembantu menjumpai majikannya dan secara pendek ia berkata, "si miskin itu bernafsu ke Anda." Si majikan kaget seraya menyelidik, "apakah ia ngomong seterus-terang begitu?" "Oh, tidak," ujar si pembantu. Si miskin bicara sangat panjang lebar, tapi intinya, ia bernafsu ke Anda. Itulah pokok pentingnya. Selebihnya, membuat pening.
Kita mirip dengan kisah cinta si miskin-kaya itu dalam menangani masalah bangsa. Bicara panjang lebar ke sana ke mari, ngelantur. Sampai, kita tak tahu mana pokok pentingnya. Sehingga justru membuat rakyat Indonesia jadi pening. Bukan penting.