RCEP disebut berkualitas tinggi karena memuat peraturan yang melebihi ASEAN plus One FTAs yang sudah ada, selain mengakui perkembangan individual yang beragam dan kebutuhan ekonomi pihak-pihak dalam RCEP. Persetujuan RCEP juga menyebutkankan masalah yang dibutuhkan untuk mendukung keterlibatan para pihak dalam rantai pasok regional dan global dan melengkapi komitmen akses pasar dengan peraturan perdagangan dan investasi yang memfasilitasi bisnis, dan pada saat yang sama mempertahankan tujuan kebijakan publik yang sah. RCEP juga bertujuan meningkatkan kompetisi yang mendorong produktivitas yang berkelanjutan, bertanggungjawab dan konstruktif. Adapun nilai tambah RCEP adalah menyatukan berbagai aturan untuk membantu memfasilitasi pengembangan dan perluasan rantai pasok regional diantara anggota.
Prinsip saling menguntungkan dalam RCEP berarti mengakui perbedaan tingkat pembangunan masing-masing pihak dan apa yang disebut keberhasilan akan ditentukan oleh sejauh mana kemampuan untuk saling memberikan manfaat dapat tercapai melalui berbagai cara, termasuk berbagai bentuk fleksibilitas dan peraturan khusus dan perlakuan berbeda terutama bagi Kamboja, Laos PDR, Mynamar, Vietnam secara layak dan fleksibillitas tambahan bagi negara yang paling kurang berkembang. Dimungkinkan juga adanya kerja sama teknis dan pembangunan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan komitmen yang telah disepakati melalui RCEP dan untuk memaksimalkan manfaat. RCEP juga memasukan peraturan yang memastikan ekonomi dengan tingkat yang berbeda, ukuran bisnis yang berlainan dan pemangku kepentingan yang lebih luas mendapatkan manfaat dari persetujuan ini.
Tentu ada juga pendapat yang meragukan manfaat RCEP bagi Indonesia, mengingat Indonesia sudah banyak terlibat dalam berbagai Perjanjian Perdagangan Bebas dengan hasil tidak optimal. Pasar 15 negara anggota RCEP juga merupakan pasar yang kompetitif, matang serta mampu menyeleksi produk dan jasa yang berkualitas. Daya saing sejumlah negara mitra terbukti lebih tinggi dari Indonesia. Apakah Indonesia mampu mendongkrak agar mendapatkan manfaat optimal? Data yang membuat pesimis misalnya menunjukkan bahwa regulasi dan praktik berusaha di Indonesia menempati urutan ke-73 di bawah Vietnam, Brunei Darussalam, Tiongkok, Jepang, Thailand, Australia, Malaysia, Korea Selatan, Singapura dan Selandia Baru. Indonesia juga menduduki peringkat ke-50 dari 141 negara berdasarkan penghitungan nilai skor indeks daya saing global 4.0 pada 2019 menurut hasil skor CGI World Economic Forum (kompas.id 2020/11/17).
Apakah Indonesia mesti mengelak dan mundur? Memandang sisi kekurangan memang pasti menimbulkan pesimisme. Memandang sisi potensi lebih menguatkan optimisme. Namun satu hal yang jelas, kita tidak dapat "menghindar dan mengelak"dari tantangan yang ada. Terutama dalam kondisi pandemi COVID-19 tidak ada pilihan selain menghadapinya dengan berbagai cara dan berusaha sekuat tenaga dan pikiran. Titik kelemahan masukan para ahli patut dijadikan check list untuk dicarikan rekomendasi solusi.
Bagaimana strategi spesifik yang terbaik?
Semoga seluruh elemen baik pemerintah, parlemen, asosiasi, pelaku usaha besar maupun kecil, lembaga analis, masyarakat mampu bersatu melihat kelemahan sebagai tantangan dengan sikap terbuka, bersedia mengambil peran sebagai tanggungjawab terhadap bangsa dan negara dan terus maju untuk belajar dan berusaha. Diperlukan petarung-petarung yang jeli melihat celah. Semoga.
Sinta Herindrasti
Penulis adalah dosen Program Studi Hubungan Internasional
Universitas Kristen Indonesia-Jakarta